Jakarta, Indonesia —
Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi memutuskan mengirim siswa nakal masuk barak militer. Puluhan anak dari sejumlah sekolah akan menjalani pendidikan ala militer selama beberapa bulan ke depan.
Program Demul memberikan pendidikan kedisiplinan militer ke para pelajar bermasalah di Jawa Barat ini menuai kritik dari berbagai pihak.
Bukannya membatalkan, Dedi Mulyadi justru ingin juga mengirim orang dewasa bermasalah ke barak militer untuk mendapat pendidikan kedisiplinan.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dedi menjelaskan program pendidikan kedisiplinan di barak militer untuk orang dewasa itu akan menyasar mereka yang kerap mabuk hingga meninggalkan keluarga.
“Ini akan yang saya lakukan program untuk orang dewasa. Kerjanya mabuk saja atau misalnya bergeng-geng di jalanan. Nanti dijaring kemudian diserahkan ke Kodam III untuk dididik di Dodik ini,” kata Dedi di Depo Pendidikan (Dodik) Bela Negara, Cikole, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Senin (5/5).
Bertentangan dengan prinsip HAM
Koordinator Peneliti Imparsial Annisa Yudha menyatakan pendekatan militeristik yang diambil oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi itu bukan hanya bentuk nyata militerisasi di ranah sipil, tetapi juga bertentangan dengan prinsip HAM.
Ia menyebut langkah yang diambil Dedi itu malah mengaburkan garis demarkasi antara urusan sipil dan urusan militer.
Annisa menyampaikan hal itu justru kian menunjukkan sikap inferioritas sipil atas militer.
“Yang dalam tahap tertentu sangat berbahaya bagi kehidupan sipil dan demokrasi. Kebebasan sipil tergerus, negara akan dinilai sudah tidak mampu lagi memberikan jaminan perlindungan atas kebebasan sipil warganya,” kata Annisa kepada Indonesia.com, Selasa (6/5).
Selain itu, Annisa berpendapat kebijakan itu juga membawa TNI kian melenceng jauh dari tupoksinya sebagai alat pertahanan negara.
Menurutnya, TNI justru sibuk dengan urusan sipil di dalam negeri. Bahkan terhadap urusan yang tak beririsan dengan urusan pertahanan.
“Misalnya, langkah untuk mengirimkan siswa-siswa yang dinilai bermasalah ke “pembinaan” di bawah TNI/militer yang malah itu melanggar hak anak untuk mendapatkan pendidikan yang demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif,” ucap Annisa.
Ia mengingatkan bahwa anak-anak merupakan kelompok rentan. Menurutnya, kebijakan ini juga berpotensi memperkuat budaya kekerasan di dunia pendidikan.
Annisa menyebut para murid itu justru dikirimkan ke lembaga yang memiliki rekam jejak kekerasan yang terus berulang.
“Jelas ini menjadi ironi karena tidak akan menjawab dan menyelesaikan akar permasalahan soal kenakalan anak. Langkah ini tidak hanya keliru tapi sangat berbahaya,” ujarnya.
Berlanjut ke halaman berikutnya…
Pada saat yang sama, Annisa juga mengomentari wacana Demul yang akan mengirimkan orang dewasa ke barak militer.
Ia menegaskan bahwa wacana kebijakan itu sangatlah tidak tepat. Annisa menekankan bahwa TNI tak berwenang untuk membina warga sipil yang memiliki permasalahan, baik permasalahan sosial maupun hukum.
“Menurut saya, permasalahan dan urusan sipil harus diselesaikan oleh lembaga-lembaga sipil yang memang memiliki kapasitas di bidangnya,” ucap dia.
“Misal untuk penanganan kenakalan anak, Indonesia punya KPAI, Komnas Anak dan sebagainya yang memang memiliki pengetahuan dan pengalaman untuk membina anak-anak yang terlibat penyimpangan dan pelanggaran hukum,” imbuhnya.
Terpisah, Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute Ikhsan Yosarie menyatakan bahwa pelibatan militer dalam urusan sipil justru berpotensi mendekatkan siswa dengan kultur kekerasan yang lazim terjadi di tubuh aparatur negara.
Ia berpendapat bahwa potret reformasi kultural aparat yang belum tuntas hingga kini.
Ikhsan mencontohkan misalnya praktik kekerasan yang masih terjadi di lingkungan sekolah kedinasan yang semestinya jadi pembelajaran terhadap dunia pendidikan.
“Pembentukan karakter siswa melalui pendekatan fisik, berpotensi melegitimasi praktik kekerasan dengan dalih pendisiplinan,” ujar Ikhsan.
Ia pun mengingatkan bahwa persoalan ini seharusnya ditangani dengan pendekatan sistemik, berbasis penanganan kebijakan berbasis riset yang disertai dengan bukti.
“Penanganan persoalan di lingkungan pendidikan, terutama atas siswa yang dianggap bermasalah, semestinya dilakukan secara proporsional dan melibatkan berbagai stakeholder guna melakukan pendidikan, pembinaan hingga pengawasan,” ucapnya.
Ia menyatakan dalam menangani itu banyak pihak yang dapat dilibatkan, mulai dari psikolog hingga K/L terkait yang menaungi sektor anak dan pendidikan.
Ikhsan pun menekankan bahwa pendekatan militeristik melalui pembinaan oleh militer justru bukan menjadi jawaban atas persoalan tersebut.
Sebab pendidikan militer dibentuk dan dibangun untuk kebutuhan militer dalam melaksanakan tugas utamanya sebagai alat pertahanan negara.
Pada saat yang sama, Ikhsan juga mengomentari soal kerjasama antara Pemprov Jabar dengan TNI AD. Ia menyatakan bahwa itu merupakan bentuk perluasan peran dan keterlibatan militer dalam ranah sipil.
“Perluasan peran tersebut di luar koridor ketentuan UU TNI, bahkan UU TNI yang baru sekalipun,” ucapnya.
Ia menjelaskan dalam UU TNI yang lama, keterlibatan ini berada dalam kategori Operasi Militer Selain Perang (OMSP) yang hanya dapat dilaksanakan atas dasar kebijakan dan keputusan politik negara.
[Gambas:Infografis ]
Sementara di UU TNI pascarevisi, kategori OMSP ini dapat dilaksanakan atas dasar Peraturan Pemerintah atau Peraturan Presiden.
“Kondisi ini memperlihatkan minimnya pemahaman dan/atau kepatuhan pihak-pihak terkait atas implementasi UU TNI,” ujar dia.
Penjelasan TNI
TNI AD telah merespons berbagai kritik dan kekhawatiran terkait program pembinaan siswa di Jawa Barat.
Kadispenad Brigjen TNI Wahyu Yudhayana memastikan TNI AD tak akan melanggar hak-hak anak dalam mendukung program Pemprov Jawa Barat di bawah Gubernur Dedi Mulyadi mengirim siswa-siswa nakal ke barak militer.
Menurut Wahyu pembinaan yang dilakukan kepada para siswa di fasilitas militer itu sudah atas persetujuan orang tua dan melibatkan sejumlah pemangku kepentingan (stakeholder) dari mulai Dinas Sosial hingga kepolisian.
“Dalam program ini juga tidak ada hak-hak anak yang dilanggar, semua atas persetujuan orang tua, bahkan ujian sekolah pun tetap mereka laksanakan selama Program tersebut berjalan. Oleh karena itu TNI AD tidak bekerja sendiri, kami tetap melibatkan personel dari instansi dan stakeholder terkait yang lain, baik itu dari kedinasan (Dinsos, Dinkes, P3A dll) dan juga Polri serta unsur lain sesuai materi yang diberikan,” ujarnya, Senin (5/5) seperti dikutip dari detikJabar.
Wahyu menuturkan kegiatan pembinaan pelajar di barak lebih mengarah pada penanaman karakter dan kepribadian. Dia menyebut kegiatan itu jauh dari hal yang berbau militeristik.
“Dalam kegiatan tersebut juga jauh dari hal-hal yang berbau militeristik, lebih kepada penanaman karakter dan kepribadian yang juga banyak dilaksanakan kepada anak-anak di institusi lain,” ucapnya.