Belajar soal Hukuman Mati Koruptor dari China



Jakarta, Indonesia —

Baru-baru ini, Indonesia heboh ketika Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera, Heru Hidayat, dituntut hukuman mati atas dugaan korupsi PT ASABRI. Jauh sebelum Indonesia, China sudah sejak lama menerapkan hukuman mati untuk koruptor.

Sejak 2013, China sudah memberlakukan hukuman mati bagi koruptor. Presiden China, Xi Jinping, saat itu menggalakkan kampanye anti-korupsi untuk membasmi koruptor dari jajaran pejabat tingkat tinggi sampai tingkat rendah.

Meski demikian, hukuman mati ini tidak wajib. Keputusan akhir tetap berada di tangan hakim, bergantung pada berbagai pertimbangan dalam persidangan.

Sejak regulasi ini diberlakukan, banyak pejabat senior partai, pemerintahan, militer, hingga perusahaan milik negara terjerat hukuman mati.

China sendiri tak pernah merilis data jumlah hukuman mati yang mereka jatuhkan. Namun, Amnesty International meyakini China mengeksekusi ribuan orang per tahun karena berbagai alasan, termasuk kasus narkoba dan korupsi.

Sebagaimana dilansir The Guardian, Amnesty juga meyakini China mengeksekusi lebih banyak orang per tahun daripada negara lain. Meski demikian, Beijing mengklaim jumlah vonis mati menurun dalam beberapa tahun terakhir.

Menurut laporan Statista, jumlah eksekusi di China mencapai 1.000 pada tahun 2020.

Walau demikian, vonis mati itu tidak banyak berpengaruh pada peringkat China dalam indeks korupsi global, Transparency International. Beijing masih menduduki peringkat 80 dalam indeks korupsi pada 2020, sama seperti 2013.

Meski tak banyak berpengaruh, vonis mati koruptor itu menarik perhatian penduduk. Menurut riset Transparency International, 84 persen responden menganggap pemerintah berhasil mengatasi korupsi.

Salah satu pengamat hubungan internasional dari Universitas Pelita Harapan, Aleksius Jemadu, mengatakan hukuman korupsi di China bisa jadi efektif di negaranya, tapi belum tentu di negara lain, apalagi Indonesia.

“Mungkin cara itu efektif di sana, tapi belum tentu efektif di Indonesia karena tidak ada solusi yang sederhana atau simpel untuk persoalan moral dan etika bangsa,” ujar Aleksius kepada Indonesia.com, Rabu (8/12).

Untuk solusi yang berdampak luas, katanya, setiap pembaruan moral mencerminkan kehendak yang aktif atau active moral will, sebagaimana pernyataan pemikir Inggris, Gilbert Keith Chesterton.

“Untuk itu, pendidikan sejak dini antikorupsi dimulai dalam keluarga, agama, lingkungan sekolah, dan lingkungan pekerjaan,” ucap Aleksius.

Namun menurut Aleksius, semua institusi tersebut di Indonesia belum berfungsi secara maksimal.

“Hukuman mati belum tentu efektif mengatasi korupsi di negara dengan penegakan hukum yang masih parah,” tuturnya.

(isa/has)

[Gambas:Video ]




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *