Benarkah Ayam Cemani Terkait Mistis? Ternyata Ini Faktanya




Jakarta, Indonesia

Ayam cemani kerap dikaitkan dengan hal mistis dalam sejumlah kepercayaan masyarakat karena bulunya yang berwarna hitam. Namun, benarkah faktanya demikian?

Ayam cemani atau Gallus gallus domesticus seringkali menjadi sorotan karena penampilannya yang serba hitam. Dalam sejumlah kepercayaan masyarakat, ayam ini sering dikaitkan dengan hal mistis seperti santet atau ritual tertentu.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pakar IPB University yang juga dosen Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis (SKHB), Savitri Novelina, mengatakan dari sisi medis dan biologis, ayam cemani merupakan hasil dari proses genetik yang bisa dijelaskan secara ilmiah.

“Warna hitam ayam cemani berasal dari mutasi genetik yang disebut fibromelanosis, yaitu kondisi di mana pigmen melanin menyebar ke seluruh tubuh, termasuk kulit, bulu, bahkan organ dalam. Ini murni genetika, bukan sesuatu yang berkaitan dengan hal-hal gaib,” ujarnya pada Sabtu (17/5), dikutip dari laman IPB.





Ayam cemani, yang juga dikenal sebagai ayam kedu, adalah ras asli Indonesia yang awalnya dipelihara masyarakat untuk keperluan upacara adat serta pengobatan tradisional.

Sebab warna tubuhnya yang pekat dan berbeda dari ayam lainnya, ayam ini kemudian berkembang menjadi simbol spiritual dalam beberapa budaya lokal.

Meski demikian, Savitri mengatakan bahwa kepercayaan terhadap ayam cemani seharusnya tidak menghalangi pemahaman ilmiah dan praktik pemeliharaan yang bertanggung jawab.

“Memang tidak bisa dimungkiri, unsur kepercayaan sudah lama melekat pada ayam cemani. Tapi dari sudut pandang kedokteran hewan, kita harus pastikan bahwa cara pemeliharaannya tetap sesuai standar kesejahteraan hewan,” tuturnya.

Savitri menjelaskan bahwa ketika ayam cemani digunakan dalam praktik mistis, hewan ini seringkali mengalami perlakuan yang tidak sesuai etika.

Sebagai contoh, ayam disembelih sembarangan, dikurung dalam kandang sempit yang tidak bersih, atau bahkan dibuang jika dianggap tidak sesuai dengan ‘syarat’ ritual.

Kondisi tersebut dapat menyebabkan stres kronis, penurunan imunitas, serta meningkatkan risiko penyebaran penyakit seperti salmonellosis dan flu burung ke manusia.

“Kalau dipelihara dalam lingkungan yang tidak higienis dan tanpa memperhatikan prinsip kesejahteraan hewan, ayam ini bukan hanya menderita, tapi juga bisa menjadi sumber penularan penyakit zoonosis,” terang Savitri.

Dalam hal ini, Savitri menekankan bahwa pendekatan budaya perlu diterapkan dalam upaya edukasi kepada masyarakat. Ia menyebut komunikasi ilmiah perlu disampaikan dengan cara yang empatik dan tidak konfrontatif.

“Yang terpenting adalah menyampaikan ilmu dengan cara yang menghormati keyakinan masyarakat. Kita tidak datang untuk mengubah kepercayaan mereka, tapi untuk bekerja sama menjaga kesehatan hewan dan manusia. Kalau pendekatan kita empatik dan terbuka, masyarakat justru lebih mudah menerima dan memahami manfaat ilmu kedokteran hewan,” jelasnya.

Menurutnya, menjembatani kepercayaan lokal dengan ilmu kedokteran hewan bisa dilakukan melalui dialog terbuka, kolaborasi dengan tokoh adat, serta penyuluhan berbasis praktik nyata.

“Misalnya, jika masyarakat percaya bahwa ayam cemani memiliki kekuatan khusus, maka pendekatan edukasi bisa diarahkan ke bagaimana merawat ayam tersebut agar tetap sehat dan kuat. Dengan begitu, ‘kekuatan’ itu pun dianggap tetap terjaga,” pungkas Savitri.

(lom/dmi)



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *