Blah blah blah untuk Generasi Z, Alam Rusak RI Masa Depan Kalian


Jakarta, Indonesia —

Greta Thunberg masih duduk di bangku sekolah kelas IX saat dia menarik perhatian dunia pada 2018 silam. Usianya masih 15 saat itu.

Anak perempuan sulung dari pasangan seniman Swedia yang lahir pada 3 Januari 2003 itu dilaporkan sering bolos sekolah hanya untuk berdiri di depan gedung parlemen, Stockholm.

Di depan gedung wakil rakyat itu, Thunberg membawa poster: Skolstrejk för klimatetatau yang kira-kira berarti mogok sekolah untuk iklim.

Aksi yang mulanya ia lakukan sendirian di depan gedung parlemen itu terpicu gelombang panas dan kebakaran hutan di Swedia pada tahun tersebut.

Gerakannya dimulai dari Stockholm, lalu dunia.

Greta telah menjadi ikon anak muda, mereka yang berasal dari generasi Z (kelahiran 1995-2010), untuk mendesak para orang tua yang memimpin dunia agar bertindak menyelamatkan bumi, terutama dengan mengurangi emisi karbon.

Seperti pidato emosionalnya yang ditujukan kepada orang-orang tua pemimpin dunia pada COP ke-24 pada 2019: How Dare You?, tahun ini Greta lantang ‘mengejek’ orang-orang tua pemimpin dunia cuma bisa ngomong alias blah-blah-blah.

Build back better, blah, blah, blah. Green economy, blah, blah, blah. Net-zero by 2050, blah, blah, blah. Climate-neutral, blah, blah, blah. This is all we hear from our so-called leaders. Words, words that sound great but so far has led to no action,” ujar Greta dalam pertemuan Youth4Climate di Italia, sekitar sebulan sebelum COP26 di Glasgow, Skotlandia.

Setidaknya dua wakil anak muda Indonesia ada di antara ratusan generasi Z dari 197 negara di Italia bersama Greta saat itu.

Kemudian di Glasgow, saat gelaran COP26–KTT yang juga dihadiri Presiden RI Joko Widodo secara fisik–Greta ikut memimpin aksi Fridays for Future Scotlands. Gerakan anak muda yang terinspirasi Greta dalam mendesak para orang tua pemimpin dunia berbuat konkret mengatasi perubahan iklim itu diikuti setidaknya belasan hingga puluhan ribu orang. Umumnya mereka adalah generasi Z dan generasi milenial.

Baby Boomers dan Generasi X

Di dunia, persoalan lingkungan bukanlah hal yang baru muncul dalam satu dua dasawarsa terakhir. Dalam konteks perubahan iklim dan kerusakan lingkungan, hal itu sudah menjadi pembicaraan yang memunculkan aktivis lingkungan setidaknya sejak dekade 1960-an silam.

Misalnya, Rachel Carson dalam Silent Spring (1962) yang menulis permasalahan kerusakan lingkungan karena pestisida masif berdampak risiko kesehatan kanker pada warga.

Perkembangan mengenai kerusakan alam pun mendorong lahirnya konferensi tentang lingkungan pertama PBB pada April 1970 yang digelar di Stockholm, Swedia. Pada dasawarsa yang sama–berawal dari hasil kajian ilmuwan dan desakan kelompok aktivis–PBB pun untuk pertama kali menggelar konferensi iklim global.

Pertemuan itu menghasilkan deklarasi yang meminta pemerintah di seluruh dunia untuk mengantisipasi perubahan iklim. Maka, lahirlah panel ahli internasional tentang perubahan iklim  atau Intergovernmental Panel of Climate Change (IPCC).

Tak lepas dari kesepakatan global yang masih terus berjalan perundingannya itu, kerusakan alam yang juga memperburuk dampak perubahan iklim terus terjadi di depan mata, termasuk Indonesia.

Hal yang akan diwarisi Generasi Z dan Generasi Alpha dari generasi Baby Boomers, Generasi X, dan milenial atau Generasi Y.

Di Indonesia, hasil survei Indikator Politik Indonesia dan Yayasan Indonesia Cerah yang dirilis 27 Oktober 2021 mendapati generasi Z dan milenial di negeri ini memiliki kepedulian tinggi atas isu perubahan iklim akibat pemanasan global.

“Tingkat awareness besar sekali 82 persen. Kita tanya secara verbatim. Generasi Z tingkat awareness-nya lebih tinggi (85 persen) dibandingkan milenial (79 persen),” ujar Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, Burhanuddin Muhtadi.

Secara umum mayoritas responden kelompok usia Generasi Z dan milenial berpendapat perubahan iklim merupakan krisis yang disebabkan oleh ulah manusia (61 persen) dan menyebabkan kerugian yang sangat serius.

Adapun faktor yang dinilai paling berpengaruh sebagai penyumbang terbesar perubahan atau krisis iklim adalah penggundulan hutan, disusul sektor industri (pabrik), penggunaan plastik, dan sektor industri penebangan hutan (kayu).

Hal tersebut menunjukkan sebetulnya sebagian besar generasi Z secara sadar paham bahwa isu perubahan iklim akan berdampak pada mereka di masa kini, dan masa depan.

Dengan demikian seperti Greta dari Swedia, Vanessa Nakate dari Uganda, dan kawan-kawan sebayanya di segala penjuru dunia, generasi Z di Indonesia pun patut bersuara lantang menuntut kebijakan konkret dari pemerintah Indonesia.

Itu bisa dilakukan, -selain tentu saja giat mengampanyekan serta memasyarakatkan aksi gerakan ramah lingkungan untuk menjaga alam dalam kehidupan sehari-hari.




FILE PHOTO: Swedish climate activist Greta Thunberg takes part in a Global Climate Strike of the movement Fridays for Future, in central Stockholm, Sweden, October 22, 2021. Etrik Simander/TT News Agency via REUTERS THIS IMAGE HAS BEEN SUPPLIED BY A THIRD PARTY. SWEDEN OUT. NO COMMERCIAL OR EDITORIAL SALES IN SWEDEN/File PhotoAktivis Greta Thunberg. (Foto: via REUTERS/TT NEWS AGEN)

Tapi, mewujudkan penurunan emisi demi mencegah kenaikan suhu global hingga 1,5 derajat Celcius tak bisa hanya lewat kampanye gaya hidup ramah lingkungan.

Target yang harus dicapai begitu besar, sehingga butuh keputusan dan penerapan yang tegas nan konkret dari pemerintah. Setidaknya hal itu sejalan dengan survei lembaga Purpose yang disajikan dalam webinar AJI Jakarta pada 10 September lalu.

“Sembilan dari 10 masyarakat Indonesia khawatir akan dampak perubahan iklim dan merasa harus berbuat sesuatu,” demikian hasil survei Purpose yang disajikan dalam webinar tersebut.

Dari survei Purpose itu masyarakat menilai ada dua hambatan paling besar dalam aksi melawan perubahan iklim: internal dan eskternal.

Internal terkait kemampuan dan pengetahuan dari dalam diri. Sementara eksternal salah satunya terkait manajemen pemerintah. Misalnya dalam hal pengolahan sampah yang terbentur antara kesadaran masyarakat dan manajemen pemerintah yang kurang baik.

Perlu dicatat bahwa Laporan IPCC mendata kurun waktu 2011 – 2020, suhu permukaan global sudah meningkat rata-rata 1,09 derajat celcius.

Seandainya tak segera dilakukan langkah luar bisa untuk menurunkan emisi gas rumah kaca-kurun waktu 2020-2050-para ahli menilai kenaikan suhu itu bisa saja meningkat mencapai 2,1 derajat sampai 3,5 derajat celcius.

Dampak di Depan Mata

Dampak-dampak nyata perubahan iklim pun sudah terlihat di depan mata.

Di antaranya wilayah pesisir yang mulai terendam karena kenaikan air laut, hingga dampak cuaca ekstrem yang buruk tingkat mitigasi yang tak maksimal. Walaupun, umumnya bencana alam seperti banjir terjadi akibat aktivitas manusia, terutama deforestasi baik yang ilegal maupun legal.

Perlu komuniksi efektif agar pesan dalam kampanye sadar lingkungan dapat tersampaikan ke tengah masyarakat umum. Tapi, perlu pula komunikasi intensif dari generasi Z dan milenial pula agar aspirasi tuntutan itu bisa didengar dan dikabulkan para pembuat keputusan di negeri ini. 

Sebaiknya kini para generasi Z, termasuk yang junior, mengambil lebih dini gerakan mendesak aktor negara melakukan langkah nyata mengurangi emisi dunia. Ada kebijakan dengan dalih pembangunan dari para orang-orang tua di kursi kekuasaan yang harus diluruskan kelompok-kelompok muda. Kelompok-kelompok muda yang juga akan sangat terdampak dari perubahan iklim.

Ini harus segera dilakukan, agar alam rusak Indonesia tak jadi warisan sekaligus petaka bagi generasi Z di masa mendatang.

(asa)


LEBIH BANYAK DARI KOLUMNIS



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *