Bos Microsoft Ungkap Pentingnya Indonesia Central dan Dampak Buat RI
Jakarta, Indonesia —
Microsoft resmi merilis Indonesia Central, sebuah cloud region yang berlokasi di Jawa Barat, Selasa (27/5). Indonesia Central menjadi cloud region kedua Microsoft di Asia Tenggara setelah Singapura.
Sebelum peluncuran Indonesia Central, Indonesia.com berkesempatan untuk berbincang dengan President Director Microsoft Indonesia Dharma Simorangkir terkait cloud region ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Data center itu secara definisi adalah fasilitas fisik yang digunakan untuk menyimpan, mengolah, memproses data. Data-data dari apa? Data-data dari aplikasi-aplikasi atau layanan-layanan digital yang memang dipakai oleh kita sehari-hari,” ujarnya di Kantor Microsoft, Kamis (20/3).
Cloud region merupakan wilayah geografis tertentu yang berisi sekumpulan data center atau pusat data dari penyedia layanan cloud publik. Dengan cloud region, pengguna dapat mengelola dan memproses data lebih dekat dengan pengguna akhir.
Sementara, data center di dalamnya memuat server, storage, perangkat jaringan, hingga perangkat-perangkat penunjang pertukaran dan pemrosesan data.
Sederet perangkat yang ada di dalam data center memastikan data selalu tersedia dan bisa diakses oleh penggunanya.
Sebagai contoh, developer memerlukan data center untuk bisa men-deploy aplikasi-aplikasi yang mereka buat. Dalam pengoperasiannya, aplikasi-aplikasi tersebut perlu tempat untuk menyimpan data.
Menurut Dharma, adopsi digitalisasi akan terus tumbuh dan berkembang, sehingga kebutuhan infrastruktur data center di Tanah Air tidak terelakkan.
Terlebih, Indonesia memiliki 270 juta penduduk dengan penetrasi digital yang cukup tinggi. Dharma menyebut lebih dari 50 persen warga RI adalah pengguna media sosial, lalu penetrasi perangkat mobile juga mencapai lebih dari 100 persen.
Selain itu, riset Work Trend Index dari Microsoft juga menunjukkan 92 persen knowledge workers di Indonesia telah memanfaatkan Generative AI dalam pekerjaannya.
“Di sisi pertumbuhan ekonomi, sekarang Indonesia adalah number one GDP di Southeast Asia, pemimpin di Asia Tenggara, pertumbuhan ekonomi yang memang tinggi dari tahun ke tahun. Tapi tak hanya itu, kita juga melihat dari sisi populasi ada talenta-talenta yang memang bisa dikembangkan,” tutur Dharma.
“Kita percaya kalau orang Indonesia, perusahaan Indonesia itu bisa di-equip, tak hanya dengan teknologi tapi skill yang tepat, nilai ekonomi akan sangat besar,” tambahnya.
Di Indonesia, cloud region Microsoft akan terdiri dari tiga availability zone yang saling terhubung. Tiga availability zone ini dilengkapi dengan spesifikasi yang bisa mengakomodir kebutuhan hyperscale.
Indonesia Central diproyeksikan memberi dampak ekonomi sebesar US$2,5 miliar atau sekitar Rp40,6 triliun dalam periode 2025-2028. Di periode yang sama, proyek ini juga diperkirakan melahirkan lebih dari 106 ribu lapangan kerja lintas sektor, mulai dari manufaktur, finansial, komunikasi dan media, hingga pemerintahan.
Kehadiran Indonesia Central tak hanya untuk mengakomodir kebutuhan infrastruktur digitalisasi, tetapi diharapkan bisa menjadi enabler teknologi kecerdasan buatan (AI) yang saat ini tengah tumbuh pesat.
Pasalnya, menurut studi Kearney, AI bisa berkontribusi sebesar US$366 miliar atau 12 persen dari total GDP pada 2030.
Lebih lanjut, Dharma menyebut kehadiran infrastruktur data center Microsoft akan menjadi enabler bagi lahirnya teknologi baru dan layanan digital baru.
“Misalnya anak-anak kita akan memiliki akses terhadap knowledge, terhadap pengetahuan, dan memiliki platform yang membantu mereka bekerja dan belajar, contohnya AI Tutor,” terang Dharma.
Transformasi digital
Dalam kesempatan tersebut, Dharma juga berbicara tentang transformasi digital Indonesia yang kencang digaungkan pemerintah.
Ia menyebut transformasi harusnya dimulai dari bisnis proses. Artinya, teknologi digital yang ada digunakan untuk mempercepat dan mempermudah proses bisnis.
“Jadi sebelum kita bicara tentang membuat aplikasi, kita sarankan memang untuk siapapun itu bagi pemerintah, perusahaan dan individual, organisasi itu melihat bisnis proses yang ingin diadjust, yang diadopt untuk mencapai tujuan itu dengan lebih baik,” katanya.
Setelah fase ini, barulah organisasi bisa menentukan aplikasi apa yang diperlukan untuk mentransformasi proses bisnis atau proses kerja tersebut. Hal ini dilanjutkan dengan memilih infrastruktur yang akan dipadukan dengan aplikasi tersebut.
Dharma mencontohkan bagaimana layanan perbankan dan layanan telekomunikasi yang melayani puluhan hingga ratusan juta orang. Aplikasi yang digunakan tentunya memerlukan infrastruktur yang hyperscale agar layanan yang diberikan selalu prima.
(lom/dmi)