Bupati HSU Abdul Wahid Diduga Terima Uang dari PNS soal Jual Jabatan



Jakarta, Indonesia —

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga Bupati Hulu Sungai Utara (HSU) nonaktif, Abdul Wahid, turut menerima uang dari para Aparatur Sipil Negara (ASN). Uang itu diduga terkait dengan jual beli jabatan.

Hal itu diketahui saat tim penyidik KPK memeriksa 14 saksi pada Selasa (23/11). Dua saksi yang diperiksa ialah PNS/Kasi Pembangunan dan Peningkatan Pengairan pada Dinas Pekerjaan Umum, Penataan ruang dan Pertanahan Kabupaten HSU, Hairiyah dan pegawai Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan (Bapelitbang) Ina Wahyudiaty.

“Seluruh saksi hadir dan menerangkan antara lain terkait dengan dugaan penerimaan fee proyek oleh tersangka AW [Abdul Wahid] dan juga adanya penerimaan lain berupa uang dari para ASN yang akan menduduki jabatan struktural di Pemkab HSU,” ujar Plt. Juru Bicara Penindakan KPK, Ali Fikri, Rabu (24/11).

Abdul Wahid ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK karena diduga menerima suap dan gratifikasi terkait proyek di Dinas PUPR senilai total Rp18,9 miliar. Ia saat ini sudah ditahan di Rumah Tahanan Negara (Rutan) KPK Gedung Merah Putih.

Kasus yang melibatkan bupati dua periode itu berawal dari kegiatan Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK pada 15 September 2021. Pada saat itu, KPK menangkap Plt. Kadis PU pada Dinas PUPR Kabupaten HSU, Maliki; Direktur CV Hanamas, Marhaini; dan Direktur CV Kalpataru, Fachriadi.

Secara rinci, Abdul Wahid diduga menerima suap Rp500 juta dari Marhaini dan Fachriadi. Sementara untuk dugaan penerimaan gratifikasi, Abdul Wahid disinyalir menerima total Rp18,4 miliar sepanjang periode 2019, 2020, dan 2021.

Dalam proses penanganan kasus ini, tim penyidik lembaga antirasuah sudah menggeledah tempat kediaman Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten HSU. Dari upaya paksa tersebut diamankan sejumlah barang bukti yang diduga kuat terkait dengan perkara dalam penggeledahan tersebut.

Barang bukti dimaksud saat ini sedang dianalisis lebih lanjut untuk kemudian dilakukan penyitaan dengan izin Dewan Pengawas KPK.

Berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tentang perubahan kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, penyidik tidak bisa begitu saja melakukan penyitaan.

Mereka harus mempunyai bekal izin Dewan Pengawas KPK. Berbeda dengan UU lama yang memungkinkan penyidik melakukan penyitaan dalam keadaan mendesak.

(ryn/DAL)

[Gambas:Video ]




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *