Buruh Aksi Gunduli Rambut di Gedung MK Usai Putusan UU Cipta Kerja
Perwakilan buruh yang juga merupakan pemohon uji formil Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (Ciptaker) melakukan aksi cukur botak rambut di depan Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta Pusat setelah Mahkamah membacakan amar putusan pada siang tadi.
Kuasa Hukum Pemohon uji formil Viktor Santosa Tandiasa menyebut pihaknya merupakan salah satu pemohon uji formil yang terdiri dari enam pemohon. Baik dari individu buruh, dosen, mahasiswa, Migrant Care, hingga Mahkamah Adat Alam Minangkabau (MAAM).
“Kita sujud syukur ya, memang saya dari awal sudah mengatakan karena awalnya kami pesimis kan. Kami bisa mengatakan kalau sampai dikabulkan maka saya akan botak rambutnya, ternyata benar dikabulkan gitu, nah untuk menjalankan nazar itu ya saya akhirnya memutuskan untuk membotak rambut,” kata Viktor di depan Gedung MK, Kamis (25/11).
Viktor mengatakan awalnya pihaknya pesimis dengan judicial review ini. Namun ternyata MK berpendapat proses pembentukan UU Nomor 11 Tahun 2020 adalah tidak memenuhi ketentuan berdasarkan UUD 1945 sehingga harus dinyatakan cacat formil.
Selain itu, untuk menghindari ketidakpastian hukum dan dampak lebih besar yang ditimbulkan, Mahkamah menilai UU Cipta Kerja harus dinyatakan inkonstitusional secara bersyarat.
Namun MK memutuskan untuk menolak sejumlah gugatan yang diajukan kelompok buruh. Rinciannya untuk Pemohon 1 dan II ditolak, kemudian mengabulkan permohonan pemohon III, Pemohon IV, Pemohon V, dan pemohon VI untuk sebagian.
Selanjutnya, undang-undang itu harus diperbaiki hingga dua tahun ke depan oleh pembuat UU.
“Ternyata di luar dari apa dugaan, ternyata MK mengabulkan. Itu mengabulkan walaupun memberikan tenggat waktu dua tahun untuk memperbaiki,” ujarnya.
Sementara itu, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menganggap hasil putusan MK sudah mengangkat marwah dan kepercayaan para buruh. Said mengklaim selama ini serikat buruh tidak percaya dengan lembaga pengadilan, terutama MK.
Namun ia meminta putusan tersebut masih harus didalami lagi perihal maknanya dan membahas ulang secara prosedural. Berdasar putusan MK tersebut, Said menafsirkan bahwa Omnibus Law tidak berlaku dan meminta gubernur di seluruh Indonesia untuk mencabut upah minimum yang berlaku saat ini.
MK memutuskan pemerintah untuk memperbaiki UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dalam jangka waktu 2 tahun ke depan. Apabila dalam ketentuan waktu itu tidak menyelesaikan perbaikan, maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen.
MK juga bakal menangguhkan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, sera tidak dibenarkan pula untuk menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja.
Dalam pertimbangan putusan sidang kali ini, Mahkamah menilai tata cara pembentukan UU 11/2020 tidak didasarkan pada cara dan metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika pembentukan undang-undang, terjadinya perubahan penulisan beberapa substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden dan bertentangan dengan asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan.
(khr)