Cara Kerja SGTF Deteksi Varian Omicron Kala Sulit Pakai PCR di RI



Jakarta, Indonesia —

Guru Besar Fakultas Kedokteran dari Universitas Indonesia (FKUI) Tjandra Yoga Aditama menjelaskan cara kerja metode S Gene Target Failure (SGTF) untuk mendeteksiĀ virus corona varianĀ Omicron atau varian B.1.1.529.

Metode SGTF bisa dilakukan ketika Gen S pada hasil test laboratorium menggunakan Polymerase chain reaction (PCR) tak mampu mendeteksi gen S pada sampel.

“Jadi PCR itu memang memeriksa beberapa gene, kalau kita test pcr kan itu terlihat gene ini angkanya sekian, rata-rata angkanya sekian. Nah kalau SGTF ini (gen) Snya tidak bisa terdeteksi,” ujar Tjandra kepada Indonesia.com, Kamis (2/12).

Mantan Direktur WHO Asia Tenggara itu menjelaskan apabila individu melakukan tes PCR, biasanya akan ada hasil angka yang menunjukkan informasi CT Value, terdiri dari keterangan gen pada sampel yang diambil.

Apabila hasil dari PCR itu tidak mendeteksi adanya gen S, maka individu tersebut dianjurkan untuk melakukan proses pengecekan Whole Genome Sequencing (WGS).

“Jadi Gen s itu tidak terdeteksi dites PCR di laboratorium. Kalau Anda pernah test PCR maka hasil pemeriksaanya keluar beberapa angka, Misalnya rata-rata CT value itu 25, itu terdiri dari gen ini sekian gen ini sekian,” pungkasnya.

Dari hasil PCR yang tidak terdeteksi adanya gen S itu, kata Tjandra seseorang patut dicurigai bahwa individu tersebut terpapar varian Omicron. Kemudian untuk memastikannya tetap harus dilakukan WGS.

“Tapi kalau orangnya datang dari Afsel enggak usah nunggu PCR lagi, langsung saja WGS,” tandasnya.

Metode STGF itu juga bisa dilakukan misalnya pada saat digelar pemeriksaan PCR rutin di salah satu komunitas, misalnya pada 100 karyawan. Apabila dari 100 orang yang ditest itu 20 orang di antaranya tak ada gen S, maka disarankan 20 orang itu untuk diperiksa WGS.

Sebelumnya, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin memerintahkan kepada seluruh laboratorium untuk menambah strategi testing dengan menggunakan metode SGTF.

“Kemarin sudah melakukan video conference dengan seluruh lab, termasuk labkesda strategi testingnya kita perbaiki, kita perkaya dengan metode SGTF ini,” kata Budi secara virtual Rabu (1/12).

Lebih lanjut ia menjelaskan saat ini laboratorium untuk WGS di Indonesia hanya ada 12 yang bisa digunakan. Hal itu disebutnya lantaran WGS mahal dan susah dilakukan. Terlebih menggunakan teknologi ilumina atau dengan mesin Oxford Nanopore Teknologi.

“Sekarang yang kita lakukan adalah kita pastikan genome sequence dari 12 lab ini kita percepat turn arround timenya. yang tadinya dua minggu mau tekan ke 5 hari kalau bisa 3 hari,” ujar Budi.

Saat ini Budi mengaku sudah membeli 11 mesin genome sequence dengan merek Illumina dan Oxford Nanopore. Ia mengatakan 11 mesin itu akan dibagi ke luar pulau Jawa lantaran saat ini mesin WGS hanya ada di Jawa dan Sulsel.

Nantinya 11 mesin WGS itu akan dibagi oleh Budi ke beberapa daerah seperti Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua, kepada perguruan tinggi. Hal itu lantaran untuk melakukan genome sequencing terbilang sulit, dan tak bisa dilakukan oleh sembarang orang.

“Nanti saya akan kasih 2 di Sumatera termasuk di Sumatera Utara ya, di Kalimantan, sulawesi, Nusa Tenggara sama Papua dan Maluku. Saya kasihnya ke perguruan tinggi ya, karena susah, yang melakukan genome sequencing ini enggak bisa sembarang orang, itu harus scientist-scientist,” tuturnya.

(can/mik)

[Gambas:Video ]




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *