Demi Vaksin Asli Dalam Negeri




Di Indonesia, dengan kebutuhan infrastruktur standar yang jauh tertinggal dari negara lain, dana jelas jadi isu utama. Meski demikian, sejauh ini belum terdengar keluhan, setidaknya yang terbuka, dari tujuh institusi yang terlibat dalam konsorsium VMP.


Sejak dimulai inisiatifnya April 2020, BRIN telah mengeluarkan Rp20 miliar rupiah untuk VMP. Tahun ini anggaran naik 10 kali lipatnya.


Tetap saja, Rp220 miliar sekali pun tampak seperti “receh” jika dibandingkan, misalnya, dengan besaran dana riset vaksin di AS atau Eropa.


Saat berhadapan dengan Komisi VII DPR, Ketua tim VMP Eijkman Profesor Amin Soebandrio mengatakan timnya telah menggunakan anggaran Rp11 miliar dan mengusulkan tambahan lebih dari Rp7 miliar. Namun sejak diajukan Januari lalu, tambahan yang diminta sempat tak cair hingga Juni.


Meski demikian, kepada Indonesia, Amin menyatakannya keyakinannya pemerintah akan memenuhi komitmen mendanai pengembangan vaksin.


“Sejauh ini tidak dibatasi. Artinya, apa yang kami butuhkan ya kami usulkan sambil berjalan. Ya memang harus diakui bagaimanapun menggunakan uang negara tidak bisa seenaknya jadi semuanya harus ada proses pengajuan, proses pertanggungjawaban. Juga butuh waktu, kita minta hari ini, besok sudah tersedia uangnya. Tapi ada komitmen dari pemerintah, misal kita butuh apa kita ajukan,” Amin menjawab dalam sebuah wawancara khusus dengan Indonesia.


Kepala Tim Riset VMP UNAIR, Profesor Fedik Abdul Rantam, mengatakan hal yang sama. Juli lalu tim Unair mengumumkan kemitraan dengan PT Biotis untuk produksi vaksin setelah merevisi target produksi menjadi semester pertama 2022.


Yang terpenting menurut Fedik sejauh ini dana tidak jadi hambatan besar untuk pengembangan vaksin.


“Sekarang minimal kita dapat suport psikologis walaupun dananya tidak besar. Kami percaya bahwa VMP akan segera terealisir. Kami tetap optimis sesuai time schedule walaupun dananya koret-koret ha ha..” kata Fedik sambil tertawa.


Menurut hitungan Amin Soebandrio, biaya akan membengkak seiring berjalannya uji klinis. Eijkman memperkirakan uji klinis vaksin baru berjalan pada April tahun 2022, dengan anggaran yang bisa mencapai 400 miliar rupiah.


“Itu bercermin pada uji klinis tahap ketiga yang dilakukan pada Sinovac di Bandung. Satu subjek saja membutuhkan anggaran sekitar 20 jutaan rupiah. Padahal untuk uji klinis itu kita membutuhkan sekitar minimum 5.000 subjek dan idealnya sampai dengan 20.000 subjek. Perusahaan-perusahaan besar itu uji klinisnya 40.000 sampai 50.000 subjek,’ kata Amien.


Dengan asumsi ketujuh riset untuk VMP akan sampai pada tahap uji klinis, kebutuhan biayanya mungkin akan mencapai sekitar 3,5 triliun rupiah – barangkali anggaran terbesar dalam sejarah riset Indonesia.


Kepala BRIN LT Handoko mengatakan soal anggaran sudah dipikirkan pemerintah, meski hitungannya jauh dari taksiran Eijkman.


“Dari sisi pembiayaan, anggaran yang kami alokasikan adalah termasuk untuk penyiapan berbagai fasilitas ini, serta uji pra-klinis. Sedangkan untuk uji klinis fase I-III itu juga cukup besar, tetapi saya kira Rp100 miliar akan mencukupi.”


Tahun 2022, BRIN mengusulkan anggaran sebesar 10 triliun rupiah yang dibagi dalam model kamar-kamar anggaran. Dana VMP termasuk dalam salah satu kamarnya.


“Pola anggaran kita sekarang tidak berbasis proyek (kapling anggaran per-kegiatan), di mana satu proyek membiayai semua hal dari bahan sampai infrastruktur,” kata Handoko.


“Tetapi akan berbaris rumah program seperti 3 tahun terakhir di LIPI. Ada rumah program vaksin, di mana bahan riset untuk VMP akan dibiayai. Selain itu ada rumah program infrastruktur riset, dan sebagian adalah pembangunan aneka infrastruktur untuk VMP. Jadi sudah tidak relevan untuk VMP berapa. Yang penting apapun kebutuhannya kita akan bisa penuhi.”


Di Indonesia, anggaran riset vaksin sepenuhnya dibiayai negara kecuali dalam bentuk kemitraan. Akibatnya bisa dibayangkan besarnya beban yang ditanggung pembayar pajak untuk mengongkosi proyek mahal ini – apalagi untuk tujuh riset sekaligus.


Di beberapa negara, anggaran beban ditanggung renteng oleh negara dan sektor swasta bahkan anggota masyarakat lewat lembaga amal atau donasi perorangan. Vietnam memakai metode ini untuk mengumpulkan dana publik untuk belanja vaksin sekaligus menambal kebutuhan anggaran riset vaksinnya.


Saat vaksin Moderna dinyatakan efektif untuk pemakaian manusia November tahun lalu, terungkap salah satu pendonor awal untuk risetnya di Universitas Vanderbilt adalah penyanyi country terkemuka, Dolly Parton. Dia menyumbang satu juta dollar AS (14 miliar rupiah) saat riset awal mulai dilakukan Februari tahun lalu.


Mikrobiolog dan pendiri perusahaan bioteknologi, Ines Atmosukarto, menilai kebutuhan dana yang sangat besar perlu dibantu dengan pengumpulan dana riset yang juga masif di Indonesia.


“Ini bukan cuma tugas untuk negara. Di Indonesia juga banyak keluarga sangat kaya, juga perusahaan-perusahaan besar. Kita perlu banyak donasi untuk biaya riset. Kita perlu Dolly Parton juga dari Indonesia. Mungkin Inul mau?” tulis Ines dengan menyertakan emoji tertawa saat bertukar pesan melalui aplikasi elektronik.


Di luar keterbatasan infrastruktur dan anggaran, menurut Ines proyek VMP sangat penting didorong agar selamat sesuai target. Meski jauh tertinggal dibanding kandidat vaksin negara tetangga, perkembangannya akan turut menentukan kemampuan Indonesia menghadapi situasi pandemi di asa depan.


“Itu poin utamanya, menurut saya. Riset VMP ini adalah bagian dari upaya membangun kapasitas. Nanti kalau terjadi pandemi yang lain kita akan mampu melakukan pengembangan vaksin lebih cepat,” kata Ines dari Brisbane, Australia.


Ia mengkhawatirkan mundur target penyelesaian VMP. Apalagi jika proyek ini tak berakhir dengan sukses karena akan sangat mengganggu kemampuan ahli-ahli di Indonesia untuk merespons pandemi dengan lebih cepat di masa depan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *