Denny Indrayana Ungkap 4 Ambiguitas Putusan MK soal UU Ciptaker



Jakarta, Indonesia —

Guru Besar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana mengungkapkan empat ambiguitas putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor: 91/PUU-XVIII/2020 mengenai uji formil Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker).

Denny mengatakan putusan MK itu mencoba mengakomodasi berbagai kepentingan dengan mencari jalan tengah. Hal itu membuat putusan menjadi ambigu dan terkesan tidak konsisten.

“Akhirnya putusan MK menjadi ambigu dan terkesan tidak konsisten, dan akan menimbulkan perselisihan dalam implementasinya,” ujar Denny kepada Indonesia.com melalui pesan tertulis, Jumat (26/11).

Denny menjelaskan uji formil UU Ciptaker ini untuk menilai keabsahan prosedur pembuatan UU, bukan terkait isi UU tersebut. MK pada awalnya terlihat tegas dengan menyatakan bahwa UU Ciptaker bertentangan dengan UUD 1945.

Namun, karena alasan obesitas regulasi dan tumpang tindih UU, MK memberi pemakluman inkonstitusionalitas bersyarat. Akhirnya, kata Denny, MK memberi waktu 2 tahun untuk pemerintah dan DPR memperbaiki pembuatan UU Ciptaker. Jika dalam kurun waktu tersebut tidak diperbaiki, maka UU Ciptaker menjadi inkonstitusionalitas permanen.

“Inilah ambiguitas pertama. Seharusnya, agar tidak ambigu, MK tegas saja membatalkan UU Ciptaker dan kalaupun ingin memberi ruang perbaikan, itu tidak dapat dijadikan alasan untuk suatu UU yang dinyatakan melanggar konstitusi untuk tetap berlaku,” katanya.

Ambiguitas kedua terkait dengan putusan-putusan yang telah dikeluarkan MK. Denny menuturkan dari 12 putusan yang dibacakan, MK menyatakan 10 di antaranya ‘kehilangan objek’ karena putusan nomor: 91/PUU-XVIII/2020 sudah menyatakan inkonstitusional bersyarat. Ia lantas mempertanyakan objek yang hilang.

“Bukankah meskipun menyatakan bertentangan dengan konstitusi, MK masih memberlakukan UU Ciptaker maksimal selama 2 tahun. Sehingga, bagaimanapun ada kemungkinan isi UU Ciptaker tetap berlaku selama dua tahun tersebut,” ujarnya.

“Tegasnya, UU Ciptaker mungkin masih berlaku dalam maksimal dua tahun itu sehingga objek uji materi seharusnya masih ada dan menjadi tidak konsisten alias ambigu ketika dikatakan ‘kehilangan objek’ untuk diuji isi UU tersebut,” kata Denny menambahkan.

Mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM itu menyampaikan ambiguitas ketiga terkait dengan putusan MK yang menimbulkan multitafsir perihal apakah UU Ciptaker masih berlaku atau tidak. Multitafsir muncul karena MK mencari jalan tengah.

MK, terang Denny, telah memberikan penjelasan dengan menyatakan: “pelaksanaan UU 11/2020 yang berkaitan hal-hal yang bersifat strategis dan berdampak luas agar ditangguhkan terlebih dahulu. Termasuk tidak dibenarkannya membentuk peraturan pelaksana baru serta tidak dibenarkan pula penyelenggara negara melakukan pengambilan kebijakan strategis yang dapat berdampak luas.”

“Namun, jalan tengah yang ditawarkan MK itu tetap menyisakan ambiguitas dan ketidakjelasan tentang apa batasan sesuatu dikatakan ‘strategis’ dan ‘berdampak luas’,” ujarnya.

Meskipun begitu, Denny memandang MK tetap memberi ruang bagi pemberlakuan UU Ciptaker, peraturan pelaksana, dan kebijakan yang lahir dari UU Ciptaker sepanjang tidak strategis dan tidak berdampak luas.

“Pertanyaannya, apakah ada pelaksanaan UU Ciptaker yang tidak strategis dan tidak berdampak luas itu? Kalau jawabannya tidak ada, lalu untuk apa MK memutuskan demikian? Kalaupun jawabannya ada, untuk apa pula UU Ciptaker masih berlaku demi hanya untuk sesuatu yang tidak strategis dan tidak berdampak luas,” katanya.

Lebih lanjut, Denny menilai MK terlihat sangat kokoh menerapkan formalitas pembuatan UU termasuk dengan sangat baik mengkritik minimnya ruang partisipasi publik dalam pembuatan UU Ciptaker. Namun, ia menyayangkan MK tak menerapkan standar yang sama ketika menguji formal perubahan UU KPK dan UU Minerba.

“Jika mengacu pada Putusan MK 91, seharusnya kedua perubahan UU KPK dan Minerba itu pun dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” ujarnya.

Sementara itu, mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie mengatakan pemerintah dan DPR tidak perlu panik menyikapi putusan tersebut. Menurutnya, para pembuat UU tersebut hanya tinggal melakukan perbaikan dalam waktu dua tahun.

“Para menteri dan pejabat pemerintah terkait tidak perlu panik dengan putusan MK yang menyatakan pembentukan UU Ciptaker inkonstitusional bersyarat (dikabulkan dengan catatan). Dalam uji formil, yang dinilai proses pembentukan UU-nya bukan materi kebijakannya. Maka, perbaiki saja prosesnya dalam waktu 2 tahun ke depan,” cuit Jimly dalam akun twitter @JimlyAs.

Sebelumnya, MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional bersyarat. MK memerintahkan pemerintah dan DPR memperbaiki UU a quo dalam tenggat waktu 2 tahun.

Apabila dalam kurun waktu tersebut tidak menyelesaikan perbaikan, maka UU Cipta Kerja menjadi inkonstitusional secara permanen. Putusan tidak bulat karena 4 hakim berbeda pendapat, yaitu Arief Hidayat, Anwar Usman, Manahan MP Sitompul, dan Daniel Yusmic Pancastaki Foekh.

(ryn/fra)

[Gambas:Video ]




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *