Dikbud Beber Problem Pendidikan Lingkungan: Tanpa Teladan Generasi Tua
Kepala Badan Standar Kurikulum dan Asesmen Pendidikan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) Anindito Aditomo menjabarkan salah satu tantangan mengaplikasikan pendidikan mengenai lingkungan atau iklim dalam kurikulum pendidikan adalah absennya teladan dari generasi yang lebih tua.
Sebab, generasi tua telah mengambil keuntungan dari alam dan justru memiliki kepentingan pribadi.
“Generasi saya dan generasi yang lebih tua ini justru punya vested interest untuk tidak melakukan perubahan secara radikal. Karena kami sudah nyaman, sudah mengambil keuntungan, dari status quo yang ada,” ujar Anindito dalam acara bertajuk Aspirasi Anak Muda Soal Perubahan Iklim yang diadakan change.org, Rabu (17/11).
Menurutnya, generasi muda saat ini memiliki kepedulian lebih besar pada isu lingkungan. Sebabnya, secara natural generasi muda lah yang mengalami dampak dari perubahan iklim ini.
“Tapi berita bagusnya sebenarnya generasi muda pasti punya kepedulian besar pada isu lingkungan,” ucapnya.
Anindito menjelaskan generasi yang lebih tua memiliki pemahaman bahwa rentang hidupnya telah lebih singkat hingga akhirnya abai. Sedangkan, generasi muda berikutnya yang akan menanggung konsekuensi dari tindakan manusia terkait iklim saat ini.
“Jadi otomatis anak muda itu punya kepedulian besar kepada isu lingkungan. Tinggal digerakkan saja, tinggal dipantik saja, pasti akan punya semangat untuk mempelajarinya,” katanya.
Oleh sebab itu, menurutnya, penting untuk terus menyuarakan isu krisis iklim dengan lebih keras agar lebih berdampak dan didengar para politisi hingga pembuat kebijakan.
Pengembangan Nalar dalam Sistem Pendidikan RI
Selain ketiadaan teladan, Anindito menyebutkan tantangan lain dalam pendidikan iklim adalah pengembangan nalar para siswa saat ini. Pasalnya, sistem pendidikan Indonesia selama ini berbasis pada konten, guru kejar tayang, termasuk materi pelajaran yang terlalu banyak.
“Yang penting sudah disampaikan, yang penting hapal, sehingga bisa menjawab soal ketika ujian. Perkara setelah ujiannya sudah lupa lagi itu seolah-olah bukan masalah. Padahal, itu masalah besar,” tutur Anindito.
Tuntutan Kebijakan Konkret Rezim
Beberapa hari sebelumnya, Senin (15/11), Greenpeace Indonesia mendesak Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) menelurkan kebijakan dan pelaksanaan yang konkret terkait janji yang diucapkan dalam KTT Perubahan Iklim alias COP26 di Glasgow, Skotlandia, awal bulan ini.
Salah satu yang disorot kelompok organisasi nonpemerintah (ornop/NGO) itu adalah soal deforestasi di Indonesia.
Mereka menilai moratorium hutan primer dan gambut yang telah dipermanenkan lewat Instruksi Presiden (Inpres) pada 2019 silam tidak cukup. Sebab, faktanya masih ada deforestasi di area moratorium.
Terkait itu, Kepala Kampanye Hutan Global Greenpeace Indonesia Kiki Taufik mengatakan pihaknya meminta Presiden Joko Widodo untuk mengeluarkan peraturan presiden (Perpres). Sehingga, moratorium hutan menjadi lebih kuat dan mengikat.
“Kami masih melihat bahwa harus diperkuat dengan regulasi yang lebih kuat dan mengikat, yaitu pada level misalnya ditingkatkan menjadi Peraturan Presiden,” kata Kiki dalam konferensi pers, Senin (15/11).
Pihaknya mencatat, deforestasi masih terjadi di area lahan moratorium seluas 1,2 hektarw dalam rentang waktu 2011-2018. Kiki mengatakan, penemuan itu adalah hasil analisis dari data dikeluarkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Padahal, kata Kiki, moratorium selalu diperbaiki selama enam bulan. Ia menilai, seharusnya ada tindakan tegas terhadap para pelaku deforestasi.
“Jadi apa yang bisa kita ambil dalam COP? Kami berharap pemerintah bisa mengimplementasikan komitmennya itu,” kata dia.
Diketahui, Indonesia turut mengikuti KTT perubahan iklim (COP26) di Glasgow. Dalam KTT itu, negara peserta harus menepati targetnya dalam Kesepakatan Paris 2015 untuk membatasi peningkatan suhu hingga 1,5-2 derajat Celsius.
(cfd, yla/kid)