Fadli Zon Beberkan Urgensi Penulisan Ulang Sejarah Indonesia
Jakarta, Indonesia —
Menteri Kebudayaan Fadli Zon memastikan proyek penulisan ulang sejarah Indonesia yang sedang dilakukan pemerintah Prabowo Subianto tidak akan menjadi sejarah resmi.
Fadli mengklaim perkataan yang sempat menyebut harus ada sejarah resmi atau sejarah formal hanya sebuah ucapan yang tidak mungkin dilakukan.
“Nah kalau ada menyebut official history atau sejarah resmi ya itu mungkin hanya ucapan saja, tetapi tidak mungkin ditulis ini adalah sejarah resmi tidak ada itu,” kata Fadli dalam rapat kerja dengan Komisi X di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (26/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Fadli mengklaim proyek sejarah ulang RI ini hanya akan menghasilkan sejarah nasional Indonesia yang disusun oleh para sejarawan dengan perspektif Indonesiasentris.
“Tetapi ini adalah sejarah nasional Indonesia ya yang merupakan bagian dari penulisan-penulisan dari para sejarawan,” ujarnya.
Di sisi lain, Fadli mengatakan proyek penulisan ulang sejarah RI ini dikerjakan oleh 113 sejarawan yang terdiri dari guru besar, profesor atau doktor di bidang sejarah.
“Jadi kita telah membuat satu tim, yang melibatkan 113 penulis. 113 ini adalah sejarawan, apakah itu guru besar, profesor atau doktor di bidang sejarah, termasuk ada arkeolog, ada yang latar belakangnya arsitektur dari 34 perguruan tinggi dan 8 institusi, dan 113 penulis,” ujarnya.
Tak hanya itu, Fadli menyebut ada 20 editor jilid dan 3 editor umum yang dilibatkan dalam proyek penulisan ulang sejarah.
Kendati demikian, ia menegaskan penulisan ulang sejarah RI ini tidak dilakukan dari kertas kosong. Melainkan dilakukan dengan memperbarui sejarah Indonesia yang sudah pernah ditulis.
“Tentu saja bukan dari 0. Jadi buku-buku ini menjadi suatu acuan utama begitu juga Indonesia dalam arus sejarah dan sejarah nasional Indonesia,” ujarnya.
Ungkap 6 urgensi sejarah RI ditulis ulang
Fadli mengungkapkan terdapat 6 faktor yang membuat penulisan ulang sejarah Indonesia urgen atau harus dilakukan. Alasan pertama penulisan sejarah ini dilakukan adalah untuk menghapus bias kolonialisme dalam sejarah Indonesia.
“Yang pertama adalah menghapus bias kolonial dan menegaskan perspektif Indonesiasentris apalagi sekarang ini kita 80 tahun Indonesia merdeka sudah saya kira waktunya kita memberikan satu pembebasan total dari bias kolonial ini dan menegaskan perspektif Indonesia sentris,” kata Fadli.
Fadli menjelaskan alasan kedua sejarah RI akan ditulis ulang untuk menjawab tantangan kekinian dan globalisasi. Kemudian alasan ketiga yaitu membentuk identitas nasional yang kuat.
“(Alasan keempat) menegaskan otonomi sejarah, sejarah otonom. (Kelima) Kemudian relevansi untuk generasi muda,” ujarnya.
“Dan (keenam) reinventing indonesian identity,” sambungnya.
Di sisi lain, Fadli menjelaskan penulisan ulang sejarah ini juga dilakukan karena sejak 25 tahun lalu belum ada lagi pemutakhiran penulisan sejarah.
“Lebih-lebih lagi karena kita terakhir menulis sejarah itu ya hingga 25 tahun yang lalu dan belum pernah ada lagi penulisan,” ujarnya.
Sebelumnya, penulisan ulang sejarah Indonesia ini ditolak oleh koalisi sipil yang terdiri dari sejarawan aktivis, hingga arkeolog yang tergabung dalam Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI).
Hal tersebut disampaikan AKSI saat rapat dengar pendapat umum dengan Komisi X DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (19/5).
“Dengan ini menyatakan menolak proyek penulisan ‘sejarah resmi’ Indonesia oleh Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia,” kata Ketua AKSI Marzuki Darusman saat membacakan pembukaan Manifesto Aksi.
(mnf/dal)