Harga Rumah Makin Mahal Turunkan Kesehatan Mental Warga
Jakarta, Indonesia —
Sebuah penelitian menunjukkan harga rumah di pasaran ternyata berkaitan dengan kualitas kesehatan mental masyarakat. Semakin tinggi harga rumah, kesehatan mental masyarakat nyatanya makin menurun.
Hal tersebut diungkap dalam penelitian yang dilakukan Yuge Xiao dan rekan-rekannya di China dan diterbitkan di jurnal Mental Health Research pada 2025, seperti ditayangkan dalam jurnal Nature pada Juni 2025.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Xiao dan rekannya menganalisis data dari 31 provinsi di China antara 2008 hingga 2019, untuk mencari keterkaitan antara harga perumahan dengan tingkat kunjungan pasien rawat jalan kesehatan jiwa.
Para peneliti menyebut, terjadi lonjakan harga rumah atau properti secara tajam di China selama sedekade terakhir dan membuat rumah menjadi aset yang paling berharga bagi sebagian besar keluarga, sekaligus diduga menjadi tekanan finansial dan meningkatkan kecemasan.
Berdasarkan analisis mereka, ditemukan kenaikan harga rumah sejalan dengan pertambahan jumlah kunjungan pasien rawat jalan di layanan kesehatan mental. Dengan kata lain, kenaikan harga rumah menurunkan kesehatan mental.
Hal senada tetap ditemukan saat diuji lanjut dengan menggunakan uji plasebo atau uji perbandingan dengan dua atau lebih kelompok. Hasilnya adalah dampak kesehatan mental yang menurun ini didorong oleh perubahan harga perumahan di kawasan pasien tersebut.
“Secara keseluruhan, temuan kami menunjukkan bahwa ledakan harga perumahan memperburuk kesehatan mental dan meningkatkan beban sosial pada sistem perawatan kesehatan,” tulis Xiao dan lainnya, seperti ditulis dalam Nature.
“Penelitian ini menyoroti perlunya intervensi yang ditargetkan oleh para pembuat kebijakan untuk mengatasi tantangan ini dan mempromosikan masyarakat yang lebih sehat di tengah urbanisasi yang cepat dan perubahan ekonomi,” tulis mereka.
Bukan hanya itu, para peneliti juga menemukan bahwa masyarakat golongan dewasa muda atau yang berusia 22-45 tahun serta perempuan, menjadi pihak yang peka dengan kenaikan harga perumahan sekaligus paling rentan dengan dampaknya pada kesehatan mental.
“Penelitian kami menggarisbawahi perlunya intervensi kesehatan mental yang ditargetkan yang mempertimbangkan perbedaan demografi dalam pengalaman stres pasar perumahan,” tulis para peneliti.
Namun para peneliti juga memberikan catatan bahwa konteks temuan di Shenzhen dan China ini tidak mudah digeneralisasikan ke negara atau wilayah lain yang memiliki dinamisasi perumahan serta budaya yang bisa jadi berbeda.
Penelitian itu merupakan studi gabungan dari Shenzhen Institute of Information Technology, Sun Yat-sen University, Shenzhen Second People’s Hospital, dan Southern University of Science and Technology Shanghai.
(end)