Hari Toleransi, Tantangan Menciptakan Lingkungan Kerja Anti Bullying



Jakarta, Indonesia —

Selasa (16/11) merupakan HariĀ Toleransi Internasional (International Day for Tolerance). Toleransi jadi konsep yang erat dengan keberagaman. Dalam Deklarasi Prinsip-prinsip Toleransi UNESCO pada 1995, disebutkan ‘Toleransi adalah rasa hormat, penerimaan, dan penghargaan atas keberagaman budaya dunia kita yang kata, bentuk ekspresi dan cara kita menjadi manusia.’

Melansir dari laman UNESCO, deklarasi berlangsung 16 November 1995 dan diikuti oleh negara-negara anggota UNESCO. Pada 1995 pula menandai Tahun Toleransi Perserikatan Bangsa-Bangsa sekaligus peringatan 125 tahun kelahiran Mahatma Gandhi. Pada 1996, Majelis Umum PBB mengadopsi resolusi 51/95 yang menyatakan 16 November sebagai Hari Toleransi Internasional.

Kemudian UNESCO menginisiasi Madanjeet Singh Prize untuk promosi toleransi dan penghargaan antikekerasan untuk berbagai aktivitas yang bertujuan untuk mempromosikan spirit toleransi dan antikekerasan. Penghargaan dianugerahkan tiap dua tahun sekali bertepatan dengan Hari Toleransi Internasional.

Gerakan toleransi hingga kini masih terus diupayakan dalam berbagai situasi, termasuk di lingkungan kerja. Perundungan atau bullying masih jadi tantangan nyata dalam upaya mewujudkan toleransi di lingkungan kerja. Hanya saja, ada banyak dalih bahwa perkataan atau perbuatan yang dilakukan hanya sekadar candaan, bukan bullying. Psikolog Pingkan Cynthia Belinda Rumondor menegaskan candaan dan bullying jelas berbeda.

Bully memang beda. Ini perilaku secara sengaja dan berulang, misal setiap hari selama hampir 6 bulan, untuk mengintimidasi, menjatuhkan. Berikutnya, juga ada ketidakseimbangan kekuasaan, salah satu superior, lainnya inferior,” kata Pingkan dalam webinar bersama Unilever, Senin (15/11).

Sedangkan candaan, kedua belah pihak sama-sama menikmati, tidak ada yang tersinggung karena bisa melihat sisi lucunya. Bully ini, lanjut dia, ada agenda tersembunyi dan bukan sekadar humor belaka.

Pingkan memberikan contoh, perilaku bullying akan berupa menyebar gosip,berlaku tidak adil, merendahkan, sengaja mengisolasi rekan kerja. Untuk hal yang bukan bullying misalnya, terjadi konflik dan cukup sekali, ada mutasi berdasar kompetensi.

Akan tetapi, apa kebijakan work from home masih memungkinkan ada bullying?

“Perilaku workplace bullying (bullying di lingkungan kerja) bisa juga via telepon, rapat online, ada komentar melecehkan, email yang isinya menjelekkan satu orang. Ada riset dari suatu organisasi, ternyata angka responden yang mengeluhkan pelecehan, merasa direndahkan, meningkat di masa pandemi berkaitan dengan ras, usia dan gender. Ternyata WFH bukan mengurangi tapi meningkat meski online,” jelasnya.

Berawal dari perbuatan atau kata-kata yang dianggap candaan, bullying bisa membawa dampak luar biasa baik pada individu yang dirundung maupun perusahaan. Pingkan menyebut selain kesehatan mental bermasalah, seorang korban bullying bisa mengalami masalah kesehatan secara fisik. Dari sini, produktivitas menurun, klaim-klaim untuk kompensasi kondisi kesehatan begitu banyak, juga mempengaruhi loyalitas karyawan terhadap perusahaan.

Menerapkan budaya anti bullying atau budaya toleransi memang bukan hal mudah. Pingkan menyebut ada aneka tantangan antara lain:

* Gaya kepemimpinan otoriter atau terbuka?
* Iklim kerja, jika iklim kerja kurang efektif, kerja besar dan rentan stres, mewujudkan anti bullying makin menantang.
* Batasan dari individu, di Indonesia lekat dengan budaya kolektif dengan salah satu cirinya individu yang mengupayakan keharmonisan, tanpa konflik maupun konfrontasi. Justru ini yang menghambat pencegahan bullying.
* Senioritas, ada anggapan yang usianya lebih tua atau yang masuk perusahaan lebih dulu memiliki strata lebih tinggi dari mereka yang baru masuk dan harus dihormati. Padahal sikap hormat juga perlu ditujukan pada karyawan yang muda.

Menurut dia, perlu ada gerakan bersama dan sistematis untuk melawan bullying. Perusahaan perlu memiliki sistem untuk menangani bullying ditambah individu yang punya kesadaran akan batasan diri.

“Sebagai individu perlu ada batasan personal. Komunikasikan keberatan kita saat itu atau saat sudah tenang. Anda bisa mengkomunikasikan pada HR atau atasan kita. Bangun relasi dengan atasan tapi bukan atasan langsung dan masih satu garis dengan atasan sendiri sehingga ada yang diajak bicara terlebih jika yang bullying ini atasan sendiri,” imbuhnya

(els/chs)

[Gambas:Video ]




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *