Hidup Enggan Mati Tak Mau Lembaga Antirasuah



Jakarta, Indonesia —

Hari Antikorupsi Internasional 2021 dirayakan di tengah berbagai insiden yang diduga terkait pelemahan lembaga antikorupsi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) setahun terakhir.

Turunnya kasus korupsi yang ditangani, semakin sedikitnya Operasi Tangkap Tangan (OTT), perilaku pimpinan lembaga antirasuah yang melanggar kode etik, hingga tak lolosnya 57 pegawai KPK menjadi ASN membuat lembaga pemberantasan korupsi seperti hidup enggan, mati tak mau.

Sejarah Hari Antikorupsi dan Awal Mula KPK

Perayaan Hari Antikorupsi terhitung baru di dunia. Lewat resolusi 58/4 pada 31 Oktober 2003, PBB menetapkan 9 Desember sebagai Hari Antikorupsi Internasional.

Dua lembaga internasional yang menginisiasi adalah Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP) dan Kantor PBB untuk Narkoba dan Kejahatan (UNODC) melalui Konvensi, hingga menjadi garda terdepan dalam upaya pemberantasan korupsi global.

Indonesia punya catatannya sendiri. Saat ini, setidaknya tiga lembaga penegakan hukum yang mengurus pemberantasan korupsi yaitu KPK, Kejaksaan Agung, dan Polri.

Melansir laman Anti-Corruption Clearing House (ACCH) milik KPK, peraturan perundangan terkait korupsi sudah ada sejak 1960. Namun, angin segar datang tahun 2002 ketika UU No 30 mengatur berdirinya KPK. UU tersebut menjadi pegangan penanganan tindak pidana korupsi (tipikor).

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menyebut UU ini meletakkan KPK pada jalur cepat penanganan tipikor jika dibanding dua lembaga lainnya.

Sejak berdiri, KPK mencitrakan diri sebagai lembaga independen dan bergerak cepat dalam pemberantasan korupsi. Terbukti, sejak 2004 hingga 2018, muncul kecenderungan kenaikan grafik secara signifikan dalam proses penyidikan yang dilakukan.

Setahun setelah berdiri, hanya dua kasus yang disidik, namun pada 2018, KPK berhasil mencatat 199 kasus telah sampai penyidikan.

Selama kurun waktu tersebut pun KPK mendapatkan peringkat kepuasan publik yang lebih tinggi dibandingkan lembaga penegakan hukum lainnya.

Melansir laman KPK, angka itu kembali merosot tajam pada 2019 dengan 145 kasus yang ditangani, 2020 dengan 91 kasus, dan 2021 hanya 71 kasus terhitung 1 Oktober.

Eks Jubir KPK, Febri Diansyah juga mengungkapkan selama dua tahun kepemimpinan Firli, jumlah Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan KPK juga menurun drastis.

Pada 2018 dan 2019, OTT yang dilakukan KPK bisa mencapai 30 dan 21 kasus. Sedangkan 2020, OTT yang dilakukan hanya 7 kali diikuti 2021 hanya sebanyak 5 kali.

Data tersebut tidak hanya sekadar angka, tetapi menunjukkan perubahan mendasar di tubuh KPK. Revisi terhadap UU KPK melalui UU No 19 Tahun 2019 disebut oleh eks Ketua KPK Agus Rahardjo sebagai pelemahan terhadap KPK.

“Sekarang, apakah berlebihan jika kita menyebut bahwa jika ada upaya melumpuhkan KPK adalah bentuk pengkhianatan terhadap amanat reformasi? Tentu saja, tidak. Upaya melemahkan, melumpuhkan atau mematikan KPK adalah pengkhianatan terhadap semangat reformasi,” ujar Agus pada wartawan, (6/9/2019).

UU No 19 Tahun 2019 dikritik habis-habisan oleh berbagai elemen masyarakat karena pasal-pasalnya yang bermasalah sebab dianggap melemahkan kewenangan KPK. Mulai dari keberadaan dewan pengawas (Dewas) hingga perubahan status pegawai KPK menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN).

Ketua Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada (Pukat UGM), Oce Madril beranggapan perubahan status pegawai tetap KPK menjadi ASN ini akan membuat para penggawa KPK menjadi tidak independen dan rawan intervensi dalam menjalankan tugasnya.

Proses alih status yang dilakukan pun bermasalah hingga menyebabkan 57 pegawai KPK tidak diangkat menjadi ASN karena tidak lolos Tes Wawasan Kebangsaan (TWK). Beberapa di antaranya adalah penyidik senior seperti Novel Baswedan.

Langkah problematis lainnya adalah penetapan Firli Bahuri sebagai Ketua KPK pada 20 Desember 2019. Firli yang berpangkat Komisaris Jenderal di Polri sebelumnya menjabat sebagai Kapolda Sumatera Selatan.

Selama menjabat sebagai Ketua KPK, Firli bahkan pernah melakukan pelanggaran kode etik karena menggunakan helikopter untuk kepentingan pribadi.

Hal-hal tersebut pun berujung pada anjloknya citra KPK di mata publik berdasarkan hasil survei sejumlah lembaga selama satu dua tahun terakhir. Terbaru, survei Indikator Politik Indonesia pada 2-6 November 2021 yang dirilis akhir pekan lalu. Indikator mendapati posisi KPKyang kini dipimpinFirli Bahuri Cs sejak 2019 anjlok di urutan delapan.

“KPK biasanya nomor dua atau tiga, sekarang terpelanting ke nomor bawah. Jadi yang nomor tiga adalah polisi,” kataDirektur Eksekutif Indikator Politik Indonesia Burhanuddin Muhtadi saat diskusi daring, Minggu (5/12).

Burhan menyatakan sebanyak 64 persen responden cukup percaya dengan polisi. Sedangkan hanya 59 persen yang cukup percaya dengan KPK. Menurutnya, polisi telah menjadi lembaga hukum yang dipercaya publik ketimbang KPK.

Dalam survei ini, lembaga yang paling dipercaya publik antara lain TNI sebesar 95 persen, lalu presiden 86 persen, dan kepolisian 80 persen. Kemudian Mahkamah Agung 79 persen, Mahkamah Konstitusi 79 persen, pengadilan 77 persen, serta kejaksaan 76 persen.

“Ada tren peningkatan ketidakpercayaan terhadap KPK,” ujarnya.

Baca halaman selanjutnya ada di ujung tanduk.


KPK di Ujung Tanduk Pemberantasan Korupsi


BACA HALAMAN BERIKUTNYA



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *