Hujan Ekstrem Jadi Salah Satu Faktor Banjir Sintang Tak Surut 3 Pekan



Jakarta, Indonesia —

Pengamat menyebut curah hujan dua pekan ke belakang di kawasan Sintang memang menunjukkan intensitas hujan cukup tinggi sehingga menjadi salah satu penyebab banjir di wilayah Sintang tak kunjung surut hingga 3 pekan.

“Intensitas hujan di sekitar sintang cukup tinggi yaitu sekitar 400 milimeter sehingga sungai Kapuas meluap,” jelas Dosen Sekolah Tinggi Meteorologi dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG), Deni Septiadi kepada indonesia.com melalui pesan teks, Rabu (10/11).

BMKG menetapkan curah hujan sedang sekitar 20-50 mm/hari, hujan lebat 50-100 mm/hari, sangat lebat 100-150 mm/hari, dan hujan ekstrem diatas 150 mm/hari. Sehingga, curah hujan di Sintang memang sudah masuk kategori ekstrem.

Saat ini banjir telah berlangsung selama lebih dari tiga pekan di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Banjir tersebut setidaknya telah merendam 12 kecamatan di wilayah tersebut.

Meski pada Selasa (9/11) terpantau beberapa wilayah telah surut, masih ada tujuh kecamatan yang terendam banjir.

Tujuh kecamatan yang masih terendam banjir saat ini adalah wilayah kecamatan Sintang, Dedai, Kelam Permai, Binjai Hulu, Sepauk, Ketungau Tengah, dan Tempunak.

Tujuh kecamatan ini masih terendam banjir dengan ketinggian antara 30 centimeter sampai dengan satu meter di area jalan protokol. Sementara di area bantaran sungai, banjir terpantau setinggi 2-3 meter.

Deni menyebut bencana hidrometeorologi seperti banjir berpotensi terjadi di sejumlah wilayah Indonesia. Bencana tersebut kemungkinan cukup parah dan merata di berbagai wilayah.

“Kalau melihat kondisi atmosfer sekarang memang ada potensi bencana hidrometeorologi cukup parah dan merata, kondisi ini mirip dengan 2020,” katanya.

Bukan masalah hujan semata

Meski demikian, intensitas hujan bukanlah satu-satunya yang dapat disalahkan dari kejadian banjir tersebut. Kerusakan lingkungan di wilayah tersebut juga bisa menjadi penyebab banjir tak kunjung surut.

“Kerusakan lahan dan lingkungan, drainase yang buruk, pendangkalan sungai, (hingga) tidak ada upaya positif dalam revitalisasi sungai juga dapat menjadi faktor penyebab terjadinya banjir,” ujar Deni.

Kemudian Deni menjelaskan wilayah benua maritim indonesia (BMI) cukup hangat dengan anomali suhu positif. Kondisi tersebut artinya potensi terbentuk awan sangat tinggi.

“2019 itu anomalinya negatif suhu muka laut meski hangat tapi normal as usual. nah yang 2020 dan 2021 ini bahkan tanpa ada fenomena la nina saja anomalinya positif,” pungkasnya.

[Gambas:Video ]

(lnn/eks)

[Gambas:Video ]




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *