Indonesianis Ian Wilson Bahas Premanisme, GRIB & Kasus Kadin Cilegon

Premanisme sedang menjadi sorotan di Indonesia usai anggota sejumlah organisasi masyarakat dan orang yang disebut preman melakukan pemerasan, pungutan liar, hingga mengganggu investasi.
Sebagai tanggapan, kepolisian Indonesia gencar melakukan operasi besar-besaran untuk membabat premanisme.
Organisasi masyarakat Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu (GRIB) Jaya termasuk pemimpin mereka Hercules juga belakangan ini jadi bulan-bulanan karena dikaitkan dengan partai politik (Parpol).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Indonesia.com berkesempatan mewawancarai pakar politik dan masyarakat Indonesia kontemporer dari Australia, Ian Wilson, membahas fenomena premanisme di Indonesia pada Kamis (15/5) via telepon.
Dalam buku Anda (Politik Jatah Preman), sempat disinggung preman menjadi tantangan bagi demokrasi sekaligus yang paling bisa memanfaatkan demokrasi, bagaimana situasinya saat ini dan penanganan dari pemerintah menurut Anda?
Bagaimana saya tanggapi itu ya, karena sebenarnya ini mungkin bukan jawaban yang diharapkan itu ya sejak saya menulis buku itu. Karena buku itu saya tulis hampir 10 tahun yang lalu dan itu terbit dalam Bahasa Indonesia 5 tahun yang lalu.
Saya dalam buku ini mulai mendalami secara konseptual memandang apa itu premanisme karena dari satu sisi preman menjadi sosok, dalam imajinasi Indonesia, budaya dan masyarakat Indonesia yang ada (pada) figure seperti Hercules yang menjadi semacam selebriti.
Namun, premanisme, di buku yang saya tulis secara teoretis membuka (pertanyaan) apakah premanisme hanya tingkatan tindakan-tindakan kriminal tertentu atau apakah premanisme bisa dipahami dan dikonseptualisasikan sebagai relasi sosial yang menjadi bagian, dari pandangan sosiolog itu, dari sebuah politik tertentu, politik yang jelas ke arah otoriter?
Secara teoretis, saya meminjam dari pemikiran Frankfurt School itu Max Horkheimer menulis tentang bangkitnya narsisme di Jerman. Dia punya teori tentang bagaimana sistem otoriter bukan sekadar institusi dan penggunaan kekuasaan secara sewenang-wenang, tapi itu juga terletak pada relasi antara sesama di tingkat masyarakat.
Jadi dengan saya melihat perkembangan premanisme dari masa ke masa di Indonesia, khususnya mulai dilembagakan pada masa Ode Baru menjadi bagian dari sistem kekuasaan totaliter. Misalnya anak yang menganggur dan lain-lain itu dikooptasi, dilembagakan di dalam organisasi masyarakat dan pada masa itu semua organisasi masyarakat ada relasi langsung dengan negara.
Ini karena tidak boleh ada masyarakat sipil, definisi umum masyarakat sipil itu adalah masyarakat yang tidak dicampur oleh negara bebas dari negara itu.
Di Orde Baru [masyarakat sipil] tidak ada, jadi semua organisasi, walaupun organisasi masyarakat istilahnya ada relasi dekat dengan pemerintahan. Itu konsep negara khas Orde Baru.
Jadi unsur-unsur yang mungkin dianggap meresahkan atau kriminal yang bisa dipandang dari dua segi. Dari satu sisi, meresahkan dan mengganggu dan sebagainya, dan pernah ada seperti Petrus (penembakan misterius). Ada penggunaan kekerasan extrajudicial oleh negara untuk menghabisi dan untuk menakuti, dan juga ada proses kooptasi.
Jadi mereka menjadi bagian dari kapasitas, memaksakan bagian dari sistem kekuasaan negara seperti menjadi semacam sub-kontraktor negara. Karena pada masa itu ormas yang besar yang disamakan di mata masyarakat dengan perilaku preman waktu itu. Misalnya seperti Pemuda Pancasila yang punya hubungan secara dekat dengan tentara.
Jadi itu menjadi semacam kekuatan negara pada tingkat masyarakat dan dikontrol secara keseluruhan karena itu tidak ada sebenarnya dimanapun, tapi ada sistem relasi yang cukup mengendalikan pasca 1998.
Saat reformasi ada sebuah kebebasan untuk berorganisasi di tingkat masyarakat, organisasi masyarakat. Memang, ini yang bikin saya pusing sendiri sebenarnya merupakan hak masyarakat untuk bikin organisasi dengan tujuan beraneka ragam sampai disamakan dengan perilaku yang begitu kan.
Dan yang terjadi adalah relasi-relasi antara negara dan yang disebut preman, yang sudah dilembagakan di ormas itu terfragmentasi. Ada desentralisasi, ada proses yang sesuai dengan arus demokratisasi yang terjadi, juga berpengaruh pada dunia itu.
Jadi kami melihat pada 1998 ke atas munculnya ormas atas nama suku, kedaerahan, agama dan sebagainya, bukan cuma atas nama membela Pancasila atau negara dan sebagainya, tapi mencerminkan perubahan dalam relasi pada waktu itu.
Dalam buku itu adalah kenapa dan bagaimana perilaku-perilaku dan relasi premanisme itu sebenarnya relasi yang predatoris, memaksakan kehidupan yang sebenarnya relasi sosial tapi tidak demokratis. Tidak ada unsur demokratis di dalamnya malah cenderung ke arah otoritarianisme, fasis.
Di awal buku, saya banyak fokus ke perubahan di dalam konstelasi kekuasaan di Tanah Abang. Kemudian ada perubahan dengan pengikutnya, kelompok-kelompok Betawi yang sebagai suku asli Jakarta menuntut bahwa mereka punya hak untuk mengawasi wilayah, sektor, dan atas nama kesukuan dan sebagainya. Jadi itu menjadi pola-pola baru untuk merebut dan berkontestasi di ruang dan (sumber) ekonomi.
Jadi mereka bisa berbentuk organisasi menjalankan premanisme soal sengketa tanah dan hal-hal yang di masyarakat Indonesia disamakan dengan premanisme.
Konsep mereka menguasai wilayah yang juga mencerminkan seolah-olah mereka juga seperti aparat walaupun mereka tidak ada status sama sekali.
Tapi itu menjadi basis untuk merebut ruang dan merebut sektor-sektor ekonomi sampai sekarang. Cuma politiknya lebih cair karena ya Ormas punya relasi, ada yang punya relasi dengan politisi, ada yang punya relasi dengan parpol, ada yang punya basis masyarakat yang cukup besar juga, ada unsur populisme di dalamnya. Jadi itu jauh lebih kompleks.
Berarti pertumbuhan ormas berkedok premanisme atau kelompok kekerasan non-pemerintah bisa menjadi tanda bahwa negara itu ke arah fasis?
Tidak. Maksud saya bukan begitu.
Cuma karena Ormas dari satu segi itu hak. Jadi bisa mendaftarkan organisasi masyarakat itu sebagai bagian dari (anggota) masyarakat sipil dan hak warga Indonesia.
Jadi, saya agak was-was dengan wacana yang sudah muncul satu dua minggu belakang ini bahwa mesti ada undang-undang baru tendang Ormas dan sebagainya.
Nah itu sebenarnya mayoritas Ormas tidak ada hubungan sama sekali dengan perilaku seperti yang dikeluhkan masyarakat (tindakan premanisme), cuma sebagian.
Dan sebenarnya yang menjadi masalah adalah perilaku-perilaku orang di bawah naungan organisasi masyarakat yang punya gaya militer. Misalnya militer punya konsep kewilayahan yang mencerminkan seperti sistem teritorial tentara dan sebagainya. Ini sebenarnya mencerminkan sistem Orde Baru itu memang dirangkul untuk menjadi bagian dari konsep kekuasaan integralistik kalau bahasa politiknya semua masyarakat menjadi bagian dari negara.
Jadi kelompok-kelompok itu yang bisa meresahkan masyarakat dan yang bisa bikin masalah untuk pemerintah dikooptasi dan digunakan demi membela negara. Dan di Indonesia, negara mengatakan bahwa masyarakat punya peran dalam membela negara.
Dari dulu itu yang digunakan untuk melegitimasi mobilisasi masyarakat sipil dalam rangka menghormati dan sebagainya untuk keamanan atau saya katakan atas nama keamanan dan sebagainya.
Ini jadi kontradiksi di mana orang yang menjadi bagian dari keamanan. Dan, keamanan adalah sesuatu yang diinginkan orang, mau keamanan dalam kehidupan sehari-hari, mau aman negara, tapi orang yang perilakunya mengancam malah melakukan itu [premanisme] sering atas nama keamanan.
Makanya ada organisasi yang perilakunya memalak, memeras, mengancam bisnis dan sebagainya. Itu malah selalu punya wacana mereka ikut melayani memberi keamanan dan sebagainya. Jadi itu relasi di sana yang saya sebut bagian dari premanisme. Bukan ya, apa… yang tukang parkir liar dan sebagainya.
Ada relasi yang lebih besar tentang relasi keamanan dan kekuasaan. Pada zaman sekarang ini memang jauh lebih kompleks.
Kami pernah lihat ada Ormas seperti FPI yang dulu menjadi cukup besar, selalu meresahkan masyarakat yang mengatasnamakan membela negara dan sebagainya. Dan, mereka bisa hidup cukup lama sebenarnya karena mereka dianggap tetap ada relasi dengan penguasa, dengan politisi, dengan elite dan mereka bisa dianggap berperan penting dalam beberapa hal.
Dalam banyak kasus, preman jadi semacam kepanjangan tangan penguasa seperti yang sudah disinggung. Tapi apakah setelah 27 tahun reformasi hal itu masih sama?
Karena preman itu sebenarnya konsep yang normatif. Kalau misalnya sebut preman setiap orang tahu apa itu preman, tapi dari segi lain preman sangat tidak jelas (abstrak).
Preman bisa orang di pinggir jalan, yang tidak ada kerja formal, mereka mencari makan, dan mungkin karena mereka tidak ada skill. Tidak ada kerja formal, itu sering yang disebut preman. Itu selalu akan ada yang secara normatif disebut premanisme, karena premanisme itu muncul dalam konteks masih ada ketimpangan, masih ada kemiskinan yang cukup tinggi.
Kalau kami membahas premanisme dalam arti sudah diorganisasikan, dilembagakan dan lain-lain, itu agak berbeda. Walaupun mungkin merangkul orang yang sama, mereka merangkul orang di jalan untuk dikasih seragam, dikasih training, dan sebagainya tapi itu relasi premanisme yang berbeda.
Kalau dalam konteks politik banyak kasus, saya ingat sebelum Pak Prabowo diangkat, saat itu pada masa transisi ada banyak kasus. Di Bali ada yang mengganggu konferensi tentang air. Ada yang mengatasnamakan ormas. Nah, itu premanisme lain, itu memang [mengarah] ke politik, karena orang itu seolah-olah mewakili sentimen masyarakat.
Tapi semua orang paham bahwa itu sebenarnya tidak otentik, itu orang yang dibayar atau ditujukan oleh orang yang lain yang mungkin (ada kepentingan) politik, siapa tahu. Pokoknya dalam konteks bagian dari cara main politik anti-demokratis.
Belakangan ada atribut Ormas GRIB (Gerakan Rakyat Indonesia Bersatu) di jalan-jalan. Bagaimana Anda memandang kemunculan GRIB dengan pemerintahan saat ini?
Kalau ada ormas yang punya relasi dekat dengan Parpol, misalnya, dan GRIB memang waktu berdiri, bagian dari Gerindra. Dan Gerindra adalah partai yang didirikan oleh Pak Prabowo untuk memajukan dia ke presiden.
Nah itu jelas kalau ada ormas yang punya hubungan dekat dengan politisi atau Parpol, dan mereka sedang berkuasa, paling tidak organisasi masyarakat itu akan merasakan bahwa mereka dekat dengan kekuasaan. Dan mereka bisa mengekspansi, mereka bisa (mendapat) berbagai keuntungan dari relasi itu.
Dan saya lihat, sekarang misalnya melihat muncul GRIB, kenapa muncul di mana-mana, karena memang dari dulu mereka loyalis, sudah terkenal Pak Hercules itu loyalis Pak Prabowo dari zaman dahulu sampai sekarang. Sekarang Pak Prabowo menjadi presiden, jelas GRIB merasakan bahwa sekarang ini zamannya.
Mereka bisa ekspansi, mereka bisa memperbesar organisasi, dan mungkin banyak yang tertarik dengan GRIB karena itu, karena mereka lihat ada sosok nih. Oke, punya karisma sendiri, tapi juga karena mereka tahu dia dekat sekali dengan Pak Prabowo, dan Pak Prabowo adalah presiden Indonesia.
Di Indonesia ada beberapa anggota ormas, preman, bahkan Kadin yang memeras perusahaan yang mau bangun di Indonesia. Kenapa sekarang semakin banyak premanisme?
Orang merasa bahwa mereka punya hak dan legitimasi di suatu daerah, dan daerah itu bisa secara geografis, kampung, kecamatan, tapi juga bisa sektor. Secara sektoral, untuk menjadi pemain baru, mereka harus membayar, mereka harus memberikan sesuatu untuk bisa diterima. Dan itu untuk membangun sebuah relasi antara mereka yang transaksional dan kondisional itu. Nah, untuk perusahaan asing yang sudah lewat proses administratif dan birokratis untuk masuk ke Indonesia, mungkin ini agak membingungkan.
Kok bisa begitu? Dan saya lihat, dengan kasus seperti di BYD dan sebagainya. Itu saya juga agak… Saya lihat dari Australia, cuma baca media, jadi enggak tahu khusus, tapi agak aneh. Karena biasanya, sepahaman saya, perusahaan apa lagi, perusahaan besar, investasi besar, itu sudah ada broker, sudah ada orang yang meluruskan semua hal seperti itu, bagian dari proses mereka mendirikan pabrik dan sebagainya.
Dan saya tahu ada perusahaan security, misalnya. Sampai ada yang berhubungan dengan Ormas, memang mereka sering pelayanannya yang diberikan ke perusahaan asing seperti itu. Mereka bisa membereskan relasi dengan masyarakat lokal, termasuk Ormas lokal, dan sebagainya. Kalau di kasus itu, seperti tidak terjadi, atau apa, atau bagaimana, saya kurang tahu. Tapi paling sedikit, ya itu mencerminkan sesuatu yang sangat beragam di Indonesia, konsep teritorial itu.
Dan itu bertentangan dengan proses administratif untuk mendirikan bisnis dan sebagainya. Seperti dunia yang clash (bentrok), bisnis ikut aturan, tapi ada aturan informal yang belum mereka patuhi, yaitu memberi upah ke yang menganggap itu kerajaan. Pokoknya, yang pikiran teritorial itu, yang bisa disebut pemikiran premanisme karena mereka (merasa) punya hak, merasa punya hak atas daerah, bukan karena atas konsep representatif mereka mewakili penduduk asli, atau sebagainya.
Bukan cuma itu, karena mereka yang merasa punya kekuasaan, atau punya sesuatu power yang harus diakui secara transaksional itu.
Bersambung ke halaman berikutnya…