Kaitan Efektivitas Sumur Resapan dan Lanskap DKI di Mata Ahli



Jakarta, Indonesia —

Dosen Program Studi Kajian Pengembangan Perkotaan Universitas Indonesia (UI) Rudy Tambunan menyebut keberadaan sumur resapan tidak bekerja efektif di semua wilayah DKI Jakarta.

“Sumur resapan hanya efektif di kawasan perumahan yang kedalaman air tanahnya melebihi satu meter. Misalnya di wilayah seperti Tebet, Setiabudi dan ke arah Selatan lainnya,” jelas Rudy kepada Indonesia.com, Selasa (23/11).

Lebih lanjut, menurutnya pembuatan sumur resapan tidak bisa dilakukan di semua wilayah DKI karena harus memperhatikan kedalaman air tanah.

“Kalau digali 40-50 cm sudah keluar air itu (sumur resapan) tidak bisa dilakukan. Umumnya ini terjadi di daerah Rawamangun, Cempaka Putih ke arah Barat yang bukan merupakan area sumur resapan,” jelasnya.

Pemerintah DKI Jakarta belakangan memang tengah gencar membuat sumur resapan di pinggir-pinggir jalan perkotaan sampai ke perumahan.

Pembuatan sumur resapan ini merupakan bagian dari proyek Pemprov DKI Jakarta untuk mempercepat surutnya genangan saat hujan besar, sekaligus untuk memastikan cadangan air tanah terjaga saat musim kemarau.

Terkait teknik drainase yang tepat untuk DKI Jakarta, Rudy yang pernah mempelajari lanskap DKI Jakarta selama 30 tahun itu menjelaskan bahwa lanskap Ibukota sejak dulu sudah sedatar meja. Secara gravitasi, air tidak bisa mengalir dari hulu ke hilir untuk mencapai permukaan laut.

Sebab itu, sejak zaman Belanda, drainase Jakarta dibangun dengan polder. Bahkan menurut Rudy, sejak tahun 1950-1970-an Jakarta sudah membenahi 13 sungai untuk bisa mengenal mana saja polder yang bisa dibangun.

Sistem polder adalah suatu cara penanganan banjir rob dengan kelengkapan sarana fisik satu kesatuan pengelolaan tata air tak terpisahkan, yang meliputi: sistem drainase kawasan, kolam retensi, tanggul keliling kawasan, pompa dan pintu air.

Manajemen sistem tata air dilakukan dengan mengendalikan volume, debit, muka air, tata guna lahan dan lansekap.

“Polder yang dibangun seperti mangkok karena memiliki cekungan, sehingga antar cekungan akan dihubungkan dengan saluran yang dibantu dengan pompa. Konsep polder ini sudah sangat dipahami oleh engineer kita dan sekarang tinggal menunggu bagaimana realisasinya,” ucap Rudy.

Sejak tahun 1965 sampai 1985, mulanya Jakarta hanya mengandalkan normalisasi kali dan sungai. Caranya dengan meluruskan belokan-belokan sungai yang pada akhirnya dianggap tidak berguna karena alirannya tidak bisa mengalir mengikuti gaya gravitasi.

Sedangkan belokan-belokan yang ada merupakan hasil alam supaya sungai bisa membawa air ke laut. Baru sejak tahun 1985, DKI Jakarta disebut Rudy beralih dari normalisasi ke polder mengacu pada lanskap dengan menyempurnakan poligon area polder di Jakarta.

“Sejak 1985, 42 polder dibangun di dataran rendah Jakarta secara bertahap. Tapi drainasi sistem polder ini membutuhkan dana yang sangat besar, sementara dana yang tersedia sangat terbatas,” ungkap Rudy.

Keinginan untuk menambah polder disebut sempat menjadi salah satu rencana, hanya saja butuh dana besar untuk realisasinya. Belum lagi penempatan polder yang dianggap harus sesuai dengan kebutuhan dan tata letak kota dan wilayah.

Apalagi polder disebut Ruddy tidak menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan. Sebab dalam pembangunannya polder harus disesuaikan dengan drainase wilayahnya.

Bahkan disebut Rudy, dalam Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 1 Tahun 2012 tentang RT/RW Jakarta 2020 di bagian lampiran sudah ada gambar visualisasi teknis polder.

Proyek sumur resapan di sejumlah wilayah DKI Jakarta tak serta-merta diterima warga. Sejumlah kritik hadir, baik dari ahli maupun dari warga sendiri.

Sejumlah ahli meragukan efektivitas sumur resapan sebagai mitigasi banjir.

Pakar Hidrologi Unpad Chay Asdak  sebelumnya menyebut sumur resapan untuk atasi banjir sebagai langkah yang tak efektif.

Hal itu dinilainya lantaran hanya akan menyebabkan air menjadi jenuh, ketika masuk musim penghujan. Sehingga, air kemudian akan tetap meluap.

“Apakah efektif dengan sumur resapan dalam konteks pengendalian banjir di daerah hilir yaitu DKI? saya kira tidak efektif,” ujar Chay kepada Indonesia.com lewat sambungan telepon, Kamis (18/11).

Chay menilai sumur resapan akan lebih efektif jika dibuat di wilayah-wilayah penyangga tersebut.

“Kalau mau efektif harus (dibangun) di daerah tengah yaitu di kota Depok, kab Bogor. Utamanya di kabupaten Bogor karena dia punya wilayah terestrial yang lebih luas ketimbang kota Bogor,” pungkasnya.

(TTF/eks)

[Gambas:Video ]




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *