Kasus Kekerasan Seksual Meningkat, Dominan KBGO-KDRT



Jakarta, Indonesia —

Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta mencatat angka kasus kekerasan seksual meningkat dalam tiga tahun terakhir. Jenis kekerasan seksual paling banyak dilaporkan ke LBH APIK Jakarta yakni Kekerasan Berbasis Gender Online (KBGO) dan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).

Kuasa hukum LBH APIK Jakarta Uli Pangaribuan mengatakan jenis kekerasan KBGO lebih banyak terjadi pada 2021 ketimbang KDRT.

Dua jenis kekerasan tersebut masih mendominasi sebagai kasus yang paling banyak mendapatkan advokasi oleh LBH APIK Jakarta.

“KDRT biasanya tertinggi, tapi sekarang yang tertinggi itu KBGO. Modus KBGO paling banyak ditemukan adalah bujuk rayu, menjadi pacar atau dinikahi kemudian diancam untuk mendapatkan keuntungan dari korban,” kata Uli dalam diskusi virtual Catatan Tahunan LBH APIK Jakarta 2021, Jumat (10/12).

Berdasarkan catatan LBH APIK Jakarta, catatan pengaduan kekerasan seksual pada 2019 sebanyak 794 kasus, pada 2020 1.178 kasus, dan pada 2021 hingga Oktober meningkat sebanyak 1.321 kasus.

Dari 1.321 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan ke LBH APIK Jakarta, sebanyak 489 kasus merupakan KBGO, 374 KDRT, tindak pidana umum 81, kekerasan dalam pacaran (KDP) 73, tindakan kekerasan seksual pada perempuan dewasa sebanyak 66.

Sisanya merupakan kasus pelecehan seksual di tempat umum, dan kasus kekerasan seksual atau pelecehan seksual pada anak.

Pada tahun ini, kasus kekerasan seksual terbanyak dilaporkan dari daerah Jakarta Timur sebanyak 227, Jakarta Selatan 125, Bekasi 112, Tangerang Selatan 105, dan Jakarta Barat 97.

“Lima lokasi tersebut yang menjadi wilayah pengaduan paling banyak,” kata Uli.

Uli mengatakan dari banyaknya kasus kekerasan seksual yang diterima oleh LBH APIK Jakarta, hanya beberapa kasus yang dilaporkan ke pihak kepolisian. Beberapa di antaranya 25 kasus KBGO, 6 kasus KDRT, dan lebih sedikit dalam kasus kekerasan seksual pada anak dan perempuan dewasa.

Terkait hal ini, Uli menyebut ada tiga kendala yang menghambat penanganan kasus kekerasan seksual.

Pertama dari sisi substantif tidak ada payung hukum yang bisa menjamin keamanan korban kekerasan seksual, kedua secara struktural aparat penegak hukum belum mengerti cara menangani kasus kekerasan berorientasi korban sehingga seringkali timbul diskriminasi atau victim blaming kepada korban.

“Dari sisi kultural, korban sering disalahkan, mendapat stigma, dan belum banyak lembaga layanan yang ada untuk mendukung keamanan korban baik fisik maupun keamanan digital,” ucap Uli.

LBH APIK Jakarta juga menilai kasus kekerasan seksual yang belum terlapor di 2021 jauh lebih banyak dari data yang tersedia.

Pihaknya mengimbau korban kekerasan seksual untuk berani mengungkapkan kasus kekerasan seksual melalui hotline LBH APIK atau platform ruang aman lainnya.

(mln/bmw)

[Gambas:Video ]




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *