Kesopanan Rachel Vennya dan Subjektivitas Pertimbangan Vonis Hakim
Jakarta, Indonesia —
Vonis hakim Pengadilan Negeri Tangerang terhadap selebgram Rachel Vennya jadi cibiran karena hanya membuahkan putusan hukum percobaan selama delapan bulan tanpa dikurung penjara terkait kasus pelanggaran aturan karantina Covid-19.
Salah satu yang menjadi sorotan adalah hal yang meringankan menurut majelis hakim, bahwa Rachel selaku terdakwa “bersikap sopan di persidangan”.
Hal yang meringankan dalam vonis hakim itu pun membuka ingatan pada vonis terhadap eks Mensos Juliari P Batubara dalam kasus korupsi Bansos Covid-19. Dalam vonis yang dibacakan 23 Agustus 2021, salah satu yang meringankan bagi Juliari adalah sudah cukup menderita dicerca, dimaki, dihina oleh masyarakat meskipun belum diputus pengadilan dengan kekuatan hukum tetap.
Pun pada kasus jaksa Pinangki Sirna Malasari yang membantu buronan BLBI, Djoko S Tjandra. Dalam vonis bandingnya, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta memotong hukuman bui bagi Pinangki dari semula 10 tahun jadi 4 tahun dengan salah satu faktor pertimbangannya masih memiliki seorang anak berusia balita. Vonis bagi Pinangki sudah inkrah, karena jaksa tak mengajukan kasasi.
Itu hanyalah tiga dari sekian banyak bagian keputusan hakim yang dinilai publik janggal dalam pertimbangan yang meringankan pada vonis-vonis pengadilan di Indonesia
Sejatinya, bagaimanakah posisi hal yang meringankan dan memberatkan dalam persepsi majelis hakim itu dalam sistem peradilan di Indonesia? Benarkah kesopanan ataupun lainnya bisa menjadi alasan untuk meringankan atau memberatkan hukuman pidana?
Akademisi yang pernah menjadi Ketua Komisi Yudisial (KY) Jaja Ahmad Jayus mengatakan pasal 197 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sudah mengatur bahwa dalam struktur putusan hakim harus memuat dasar meringankan dan memberatkan. Itu terdapat pada Pasal 197 ayat 1 huruf f KUHAP.
Namun, ia mengatakan hakim harus mengedepankan aspek rasionalitas dan objektivitas saat memberikan pertimbangan meringankan dalam vonis terdakwa.
“Hakim harus mementingkan aspek rasionalitas dalam memutuskan. Apakah ada aspek rasionalitas yang bisa meringankan itu,” kata Jaja kepada Indonesia.com, Selasa (14/12).
Jaja menyadari pertimbangan meringankan soal perilaku terdakwa di persidangan soal sopan santun hingga tak berbelit-belit lazim ditemukan dalam sebuah vonis. Sebab, hal demikian diputuskan berdasarkan perasaan seorang hakim yang tak bisa diintervensi.
Namun, ia menegaskan jangan sampai alasan pertimbangan meringankan perilaku di ruang sidang itu menjadi yang utama. Ia juga menilai tak semestinya hakim memberikan pertimbangan meringankan berdasarkan atas desakan publik. Sebab, hal demikian sudah mencederai integritas hakim.
“Jangan sampai diada-adakan juga. Jangan sampai itu jadi pintu masuk kalau sampai berhadapan dengan aspek integritas hakim, harus objektif dan terukur di sana,” kata Jaja.
Dihubungi terpisah, Staf Penanganan Kasus LBH Masyarakat, Ma’ruf Banjammal menyatakan pertimbangan meringankan atau memberatkan hakim terhadap terdakwa dalam vonis di persidangan tak memiliki dasar dan formula yang jelas dalam aturan perundang-undangan.
Ia mengatakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan keadaan yang memberatkan dan yang meringankan.
“Artinya itu diserahkan dan jadi praktik yang ada di pengadilan sesuai dengan pengamatan dan penilaian hakim sepanjang sidang berjalan. Jadi itu diserahkan kepada hakim. Tak begitu jelas bagaimana kadar-kadar perbuatannya,” kata Ma’ruf, Selasa.
Ma’ruf mahfum selama ini pertimbangan keadaan-keadaan yang memberatkan dan meringankan dalam vonis pengadilan itu sangat luas dan variatif. Dalam beberapa putusan, pertimbangan hakim yang meringankan atau memberatkan pada suatu perkara kerap kali dikaitkan dengan sikap atau perilaku terdakwa di hadapan proses persidangan.
Ma’ruf memberi contoh terdakwa bertindak sopan, menjawab pertanyaan secara tidak berbelit-belit, hingga tak mempersulit kerja hakim, kerap kali dikategorikan sebagai alasan meringankan pidana. Sebaliknya, sikap terdakwa tidak segera mengakui perbuatan, menjawab pertanyaan berbelit, bersikukuh menyatakan diri tidak bersalah akan diperhitungkan sebagai faktor penambah beratnya pidana.
“Karena enggak ada indikator atau dasar hukum yang jelas soal itu, hakim bisa menentukan sesuka hatinya [pertimbangan meringankan]. Enggak ada pagar yang membatasinya,” ucap dia.
Buka halaman selanjutnya soal rawan dugaan perilaku transaksional…
Rawan Dugaan Perilaku Transaksional