Ketika Dunia Reza Mendadak Gelap Gulita
Tahun 2010 menjadi tahun paling suram dalam kehidupan M. Reza Akbar. Hidupnya berubah 180 derajat setelah kehilangan penglihatan untuk selamanya akibat pembuluh darah yang pecah.
Padahal saat itu usia Reza baru 25 tahun, usia emas, masa-masa dia seharusnya meniti karier, mencari pasangan, bermain dengan teman atau sekadar jalan-jalan menikmati keindahan alam Indonesia.
“Sudah enggak bisa, dunia saya gelap saja. Ini beneran gelap dan gelap suram juga,” kata pria yang akrab disapa Reza membagikan kisahnya di acara Hari Difabel Sedunia bersama Tokopedia, Jumat (3/12).
Empat tahun terpuruk
Hidupnya saat itu seolah direnggut, semangat hidup juga hilang. Keinginan untuk mati berulang kali muncul dalam benaknya. Hampir empat tahun Reza mengalami keterpurukan.
Empat tahun bukanlah waktu yang singkat untuk meratapi nasib setelah penglihatannya hilang. Reza bahkan mengaku, kehidupan sosialnya juga berhenti seketika.
Dia memilih tak keluar rumah sama sekali.
“Saya menutup diri, empat tahun saya diam di rumah. Interaksi hanya dengan keluarga, di luar itu semua saya putus,” kata dia.
Lagi pula menurut Reza, untuk apa dia keluar rumah toh tak ada yang bisa dilihat. Jujur saja, Reza juga merasa semua orang akan mencibir dan memandangnya rendah hanya karena tak bisa melihat.
“Saya memang tidak siap dengan keterbatasan ini saat itu. Saya pikir dunia saya sudah berhenti,” katanya.
Reza tak lagi bekerja. Hidupnya hanya dihabiskan di rumah, makan, tidur, makan tidur, tak ada kegiatan lain.
Menemukan harapan dari teknologi
Hingga pada siang hari di 2014, Reza menemukan teknologi yang bisa membantu orang dengan keterbatasan terutama yang tak bisa melihat. Fitur pembaca layar yang membuat Reza kembali bangkit dan mau belajar dari awal.
Fitur ini kata dia membantunya menemukan hidup yang sudah hilang hampir empat tahun lamanya. Saat itu Reza merasa mendapat angin segar, dia bisa kembali hidup melalui bantuan teknologi.
“Saya kan memang enggak tahu tadinya, makanya terpuruk karena mau jadi apa saya tanpa mata yang berfungsi normal,” kata dia.
Dari situ, Reza belajar mengoperasikan komputer dengan bantuan teknologi pembaca layar. Tak lama dia memilih kembali ke dunia nyata dan mencoba melamar ke beberapa perusahaan, kembali ke kehidupan sosial dan mencoba menerima dirinya dengan keterbatasan yang mendadak dia dapatkan di 2010 lalu.
“Saya akhirnya bekerja lagi, di bidang teknologi yang memang dulu juga bidang saya, saya bekerja di perusahaan yang memang tak memandang rendah orang-orang dengan keterbatasan,” kata dia.
Dia sadar tak bisa melihat bukan halangan berkarya. Memang tak mudah tapi harus dijalani dengan keikhlasan.
Bagi Reza, hidup sebagai orang dengan keterbatasan di Indonesia sudah cukup ramah. Apalagi di kota besar seperti Jakarta yang memang cukup ramah difabel. Transportasi, teknologi dan akses jalan pun sudah banyak membantu kaum difabel.
“Memang belum sempurna, saya tidak tahu di daerah lain, mungkin memang perbaikan harus selalu dilakukan yah meskipun sejauh ini sudah cukup bagus,” kata dia.
(tst/chs)