Komcad Digugat, Saksi dari Timor Leste Ungkap Pembantaian Dili 1999



Jakarta, Indonesia —

Saksi dari pemohon uji materi UU Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara (UU PSDN) yang berasal dari Timor Leste mengungkapkan warga sipil yang dipersenjatai dan diberi kewenangan menghadapi ancaman pertahanan berpotensi memicu pelanggaran HAM berat.

Hal tersebut diungkap oleh Chris Carrascalao saat menjadi saksi dari pemohon dalam sidang judicial review UU Nomor 23 Tahun 2019 tentang PSDN, yang menjadi dasar aturan Komponen Cadangan (Komcad), di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Selasa (14/12).

Dia merupakan korban selamat dari pembantaian dengan korban hingga 150 jiwa, di Dili, 17 April 1999, yang dilakukan oleh milisi Aitarak.

Chris bercerita tak berurutan, ia masih terbata-bata setiap menceritakan tragedi ini. Hari itu, Sabtu 17 April 1999, dilaksanakan upacara di depan kantor Gubernur Timor Timur, yang dihadiri oleh pejabat pemerintah Indonesia. Termasuk, Tono Suratman dan ketua milisi Aitarak, Eurico Guterres.

Saat upacara tersebut, Eurico dengan lantang mengatakan bahwa semua pihak yang pro kemerdekaan Timor Leste harus dibunuh. Lebih jauh, Euriko menyebut seluruh keluarga Carrascalao harus dibunuh, terutama Manuel dan Mario Viegas Carrascalao, ayah dan om Chris Carrascalao.

“Saya dengar langsung dari RRI, waktu itu disiarkan langsung, [Euriko mengatakan] bahwa semua keluarga Carrascalao harus dibunuh sampai 7 turunan,” ujar Chris melalui sidang daring itu.

Chris dan ayahnya, Manuel, tidak berada di rumah saat kejadian. Ia sedang pergi ke bandara untuk menjemput adik bungsunya, namun mendengar ancaman di radio, ia berniat untuk kembali pulang ke rumah. Adik lelakinya, Manelito Carrascalao, menelponnya dan meminta ia untuk tidak pulang ke rumah.

Setelah upacara tersebut, milisi Aitarak dan Euriko pawai mengelilingi Dili, hingga puncaknya melakukan penyerangan ke rumah Carrascalao. Saat itu, menurut Chris, rumahnya menampung setidaknya 150 pengungsi dari berbagai kabupaten.

Lantaran tak bisa kembali ke rumahnya, Chris dan Manuel mendatangi Komandan Korem Tono Suratman untuk meminta bantuan agar menghentikan serangan Milisi Aitarak. Nahas, ia hanya ditertawai.

Tono justru menyuruh Manuel dan Chris untuk meminta senjata pada Fretilin, kelompok pro kemerdekaan Timor Leste. Padahal, Chris dan ayahnya hanya kelompok sipil dan tak bersenjata.

“Dari situ kami ke polisi, jawaban mereka juga sama, diam. Jadi selang waktu dari rumah Danrem Tono Suratman ke polisi untuk meminta bantuan perlindungan, itu mungkin sekitar setengah jam. Setelah itu ya yang kami dengar hanya tembakan,” tambah Chris.

Chris mendengar suara tembakan beruntun itu di rumah Uskup Carlos Filipe Belo, berjarak tak sampai sekilo dari rumahnya. Tak ada yang bisa ia lakukan bahkan sampai tiga hari setelahnya.

Ia mengetahui jumlah korban meninggal, luka parah, dan selamat justru dari wartawan asing yang berada di lokasi saat kejadian. Menurutnya, 45 orang yang selamat kebanyakan perempuan dan anak-anak yang usianya paling tua 12 tahun.

Namun, adik kandungnya tewas. Ia harus ke rumah sakit militer di Lahane, Dili, dan menemukan jasad adiknya dengan kondisi mengenaskan.

“Di situ saya berkesempatan, karena harus ke kamar mayat, itu kamar mayat penuh dengan mayat-mayat yang kondisinya sudah dimutilasi, dan itu menumpuk setinggi pinggang saya. Tubuh adik saya ini kondisinya tidak beda dengan mayat-mayat yang lain,” ujar Chris.

Hingga kini, Chris masih trauma dan geram tiap kali mengingat tragedi tersebut. Ia merasa diabaikan oleh pihak pemerintah Indonesia dan pihak keamanan.

“Ini semua hanya karena ada hasutan, kampanye kebencian yang jelas-jelas dilakukan di depan semua aparat keamanan, aparat pemerintah, dan seolah-olah tidak ada yang mendengarkan,” tambah Chris masih terbata-bata.

Sampai sekarang, Chris kecewa dengan sikap pemerintah Indonesia yang mengabaikan korban pembantaian di Dili saat itu yang tak lepas dari izin otoritas.

“Yang sudah mati, ya mati. Tapi mereka yang membunuh ini tidak pernah merasa kalau yang mereka lakukan itu salah. Bahwa pembunuhan itu salah, penyiksaan itu salah, pemerkosaan itu salah. Seolah-olah semua itu disahkan, dilegalkan hanya karena mereka ini mendapat surat izin langsung dari pemerintah waktu itu dan juga dari tentara dan polisi indonesia,” tutup Chris.

Diketahui, masa pergolakan di Timor Timur sebelum lepas dari Indonesia dikabarkan tak lepas dari sejumlah insiden pelanggaran HAM. Sejumlah jenderal pun terseret kasus itu, meski bantahan terus berdatangan.

Bersambung ke halaman berikutnya…


Ahli Pertanyakan Pemahaman Anggota Komcad


BACA HALAMAN BERIKUTNYA



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *