KPAI Sebut Perda NTB Tak Atur Sanksi Perkawinan Anak
Jakarta, Indonesia —
Komisi Pelindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut Peraturan Daerah Nusa Tenggara Barat (NTB) tentang Pencegahan Perkawinan Anak tidak mengatur pemberian sanksi.
Komisioner KPAI Ai Rahmayanti menilai hal tersebut menjadi salah satu faktor tingginya angka perkawinan anak di NTB.
Hal tersebut ia sampaikan terkait kasus pernikahan anak yang kembali terjadi di Lombok, Nusa Tenggara Barat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Nah di faktor regulasi ini memang di NTB sendiri sudah ada peraturan daerah terkait pencegahan perkawinan anak namun tidak mengandung sanksi. Kemudian juga tidak ada komitmen anggaran dari pemerintah daerah,” kata Rahmayanti di kompleks parlemen, Jakarta, Senin (26/5).
Rahmayanti menjelaskan Perda Pencegahan Perkawinan Anak di NTB yang dikeluarkan tahun 2021 itu juga tidak mengatur sanksi untuk perangkat daerah yang berkontribusi menyelenggarakan pernikahan ini.
Faktor lain yang memperparah kasus tingginya perkawinan anak di NTB, kata Rahmayanti, adalah faktor adat dan agama.
Salah satunya, pemahaman terkait lebih baik dinikahkan untuk menghindari terjadinya kasus zina yang dilakukan oleh anak muda.
Padahal, menurut dia, pernikahan dini melibatkan perangkat desa seperti penghulu. Oleh karena itu, ia meminta Kemendagri untuk meninjau seluruh aturan yang menyematkan aturan mengenai sanksi.
“Nah informasi tersebut juga ternyata ini juga ada peran Kementerian Dalam Negeri men-delete terkait dengan sanksi dan anggaran tersebut,” katanya.
“Nah kami KPAI juga merekomendasikan agar Kemendagri juga meninjau ulang terkait dengan peraturan daerah tersebut,” sambungnya.
Di sisi lain, Rahmayanti menilai Perda pencegahan pernikahan anak ini bisa merujuk pada Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Ia mengatakan UU TPKS sudah mengatur ancaman pidana hingga denda ratusan juta rupiah bagi pihak yang menyelenggarakan pernikahan dini.
“Secara regulasi ini juga sudah ada di Undang-Undang TPKS Pasal X, di sana ada ancaman pidana 9 tahun atau denda Rp200 juta kepada pihak-pihak yang terlibat dalam perkawinan anak,” ujarnya.
Sebelumnya, orang tua pasangan remaja di Lombok Tengah, Nusa Tenggara Barat (NTB), resmi dipolisikan usai pernikahan anak mereka yang masih berstatus pelajar viral di media sosial.
Pasangan yang menikah adalah SMY (15), siswi SMP asal Desa Sukaraja, Kecamatan Praya Timur, dan SR (17), siswa SMK asal Desa Braim, Kecamatan Praya Tengah.
Laporan dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram ke Polres Lombok Tengah pada Sabtu (24/5). Ketua LPA Kota Mataram, Joko Jumadi, mengatakan laporan ditujukan kepada seluruh pihak yang diduga terlibat dalam memfasilitasi pernikahan anak tersebut, termasuk orang tua dan penghulu.
“Yang dilaporkan adalah pihak-pihak yang memfasilitasi perkawinan anak ini. Bisa saja orang tua, bisa juga penghulu,” kata Joko saat ditemui di Polres Lombok Tengah, melansir Detik.com, Minggu (25/5).
(mab/isn)