LP3ES Minta Pasukan Siber MUI Jadi Contoh Tak Doxing dan Sebar Hoaks
Rencana Majelis Ulama Indonesia (MUI) DKI Jakarta yang akan membentuk pasukan siber guna menghadapi pendengung alias buzzer disebut akan menjadi contoh jika mereka tidak menyebarkan hoaks, trolling, dan doxing seperti yang dilakukan banyak pendengung.
Direktur Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), Wijayanto mengatakan hasil riset yang dilakukan lembaganya menyatakan bahwa pasukan siber kerap menggunakan cara-cara kontraproduktif seperti menyebarkan berita bohong, doxing, dan trolling menciptakan disinformasi yang membahayakan demokrasi.
“MUI bisa menjadi contoh jika mereka membentuk tim digital yang tidak menggunakan cara-cara seperti di atas,” kata Wijayanto saat dihubungi Indonesia.com melalui aplikasi Whatsapp, Senin (22/11).
Menurut Wijayanto, penggunaan pasukan siber pada era digital merupakan tindakan yang selagi tidak menggunakan cara-cara yang bertentangan dengan demokrasi, yakni dengan menyebarkan informasi yang benar dan akurat.
Wijayanto enggan berkomentar lebih jauh. Ia merasa perlu melihat terlebih dahulu bagaimana pasukan siber MUI DKI Jakarta itu akan bekerja. Meski demikian, ia mewanti-wanti agar MUI memberi contoh yang baik seperti berkampanye berdasarkan data, informasi akurat, dan argumen yang masuk akal.
“Perlu kita lihat bagaimana mereka bekerja nanti…Semoga MUI menggunakan cara yang saya maksud di atas,” ujar Wijayanto.
Sebelumnya, MUI DKI Jakarta menyatakan akan membentuk pasukan siber atau cyber army guna melawan buzzer di media sosial yang menurut mereka kerap menghantam ulama dan mendiskreditkan umat Islam.
Hal ini dikonfirmasi Ketua Umum MUI Munahar Muchtar. Rencana itu diusulkan dalam Rapat Koordinasi Bidang Infokom MUI se-DKI Jakarta di Hotel Bintang Wisata Mandiri, Senin (11/10) lalu.
Sementara itu, LP3ES pernah merilis hasil riset yang menyebut bahwa pasukan siber kerap menjadi alat elite politik dan ekonomi di Indonesia sebagai alat untuk memanipulasi opini publik di media sosial.
Riset itu merupakan kolaborasi LP3ES, Universitas Diponegoro, Universitas Islam Indonesia, Universitas Amsterdam, Drone Emprit, dan KITLV Leiden. Mereka mewawancarai 78 orang buzzer selama dua tahun terakhir.
“Ada semacam elite politik dan elite ekonomi dan juga seorang dari circle pemerintah yang menggunakan cyber troop. Dan itu bisa muncul dari pemerintah dari parpol. Jadi macam-macam orang yang menggunakan cyber troop untuk membela kepentingan mereka,” kata peneliti KITLV, Ward Berenschot saat memaparkan hasil risetnya, Senin (1/11) lalu.
(iam/kid)