Membangun Kesadaran Dampak Kelahiran Sebelum Waktunya



Jakarta, Indonesia —

Hari ini merupakan perayaan HariĀ Prematur Sedunia (World Prematurity Day). Hari Prematur Sedunia dicanangkan sejak Mei 2010 di New York, AS oleh European Foundation for The Care of Newborn Infant (EFCNI), Little Big Souls (Afrika) dan March of Dimes (AS).

Peresmian dan perayaannya sendiri dimulai sejak 2011 bersamaan dengan bergabungnya National Premier Foundation (Australia).

Gerakan bersama ini pun makin berkembang dan dirayakan di berbagai belahan dunia.

Melansir dari laman resmi EFCNI, Hari Prematur Sedunia ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan tantangan dan beban kelahiran prematur secara global. Tiap tahun diselenggarakan acara khusus dan komitmen untuk membantu mengatasi kelahiran prematur dan memperbaiki situasi bayi prematur dan keluarga mereka.

Menurut WHO, kelahiran prematur berarti bayi lahir sebelum 37 minggu di mana dalam kondisi normal bayi lahir di usia 39 minggu kandungan.

Kemudian ini masih bisa diklasifikasikan lagi menjadi prematur ekstrem (kurang dari 28 minggu), sangat prematur (28 sampai kurang dari 32 minggu), moderat (32 sampai kurang dari 34 minggu) dan prematur akhir (34 sampai kurang dari 37 minggu).

Dalam riset yang diterbitkan dalam International Journal Gynecology Obstetry (2020), tiap tahun setidaknya ada sebanyak 15 juta kelahiran prematur di seluruh dunia. Lebih dari 84 persen lahir di usia kandungan 32-36 minggu, kemudian sebanyak 5 persen merupakan kelahiran prematur ekstrem dan 10 persen lahir di usia kandungan 28-32 minggu.

Sebanyak 50 persen dari total kelahiran prematur di dunia terdiri dari kelahiran prematur dari enam negara yakni, India, China, Nigeria, Pakistan, Indonesia, dan AS.

Sementara itu, perayaan Hari Prematur Sedunia tahun ini mengangkat tema ‘Zero Separation’ atau tak ada lagi pemisahan. Pandemi ternyata membawa dampak besar buat para orang tua dengan bayi mereka yang lahir prematur.

EFCNI di bawah payung Global Alliance of Newborn Care (GLANCE) mengadakan survei terhadap lebih dari 2 ribu orang tua dari 56 negara di seluruh dunia yang memiliki bayi dengan perawatan intensif selama tahun pertama pandemi.

Survei yang diterbitkan di EClinical Medicine ini menemukan lebih dari separuh orang tua tidak diizinkan didampingi saat melahirkan, 1 dari 5 orang tua tidak pernah boleh bersama bayi yang dirawat intensif di rumah sakit, para ayah sangat terdampak dengan aturan pemisahan, aturan pemisahan pun membatasi kontak ‘skin-to-skin’ bayi dan orang tua, juga 1 dari 3 responden kurang informasi tentang cara melindungi diri dari penularan Covid-19.

“Segera setelah lahir, anak itu dibawa ke rumah sakit yang jaraknya 130 km, saya tidak melihat anak itu setelah lahir, tidak ada yang menunjukkan pada saya, tidak ada yang bisa bersama saya setelah operasi caesar. Ketika saya terdaftar dan ingin menemui anak itu, rumah sakit mengatakan dilarang untuk mengunjungi. Saya tidak melihat putri saya selama 2 bulan, selama itu hanya ada beberapa foto. Saya melihat anak itu untuk pertama kalinya pada hari dia keluar. Itu adalah mimpi buruk,” ungkap salah satu ibu yang turut dalam survei, mengutip dari rilis EFCNI.

Ketua EFCNI dan pendiri GLANCE, Silke Mader menyebut temuan survei ini jadi gambaran menyakitkan. Menurutnya, pendekatan perawatan harus berpusat pada bayi dan keluarganya. Hal ini akan memberikan awal yang baik buat bayi yang baru lahir.

Demi meningkatkan kesadaran, salah satu cara sederhana yang dilakukan dari tahun ke tahun adalah penggunaan warna ungu. Mengutip dari laman Neonatal Trust, warna ungu menghiasi gedung atau tempat-tempat bersejarah untuk mengingatkan orang akan kelahiran 15 juta bayi prematur setiap tahunnya dan sebanyak 1 juta bayi prematur yang meninggal.

(els/chs)

[Gambas:Video ]




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *