Mengenal Audisme, Sikap Diskriminasi terhadap Orang Tuli



Jakarta, Indonesia —

Sikap Menteri Sosial, Tri Rismaharini alias Risma memaksa tunarungu untuk berbicara dalam peringatan Hari Disabilitas Internasional (HDI) 2021 menuai kontroversi.

Tindakan Risma saat itu langsung mendapat kritik dari perwakilan Gerakan untuk Kesejahteraan Tuna Rungu Indonesia (Gerkatin), Stefanus.

“Saya mau bicara dengan ibu sebelumnya, bahwasannya anak tuli itu memang harus menggunakan alat bantu dengar, tapi tidak untuk dipaksa berbicara,” kata Stefanus melalui juru bicara bahasa isyarat di Kemensos, Jakarta Pusat, Rabu (1/12).

Di balik insiden tersebut, apa yang dilakukan Risma berkaitan dengan fenomena audisme. Apa itu audisme?

Sebagaimana dilansir Very Well Health, audisme adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan sikap negatif atau diskriminasi terhadap orang tuli atau orang yang sulit mendengar.

Ini biasanya dianggap sebagai bentuk diskriminasi, prasangka, atau kurangnya kemauan untuk mengakomodasi mereka yang tidak dapat mendengar. Mereka yang memegang sudut pandang ini disebut audis dan sikap menindas yang dilakukan dapat dalam berbagai bentuk.

Istilah audisme pertama kali dicetuskan oleh Tom Humphries dalam disertasi doktornya pada 1977 berjudul “Communicating Across Cultures (Deaf-Hearing) and Language Learning.”

Di dalamnya, Humphries mendefinisikan audisme sebagai, “Gagasan bahwa seseorang lebih unggul atau superior berdasarkan kemampuannya untuk mendengar atau berperilaku seperti orang yang mendengar.”

Seiring waktu, pemahaman tentang arti audisme pun terus berkembang. Di antara mereka yang telah mengeksplorasi sikap ini secara mendalam adalah Harlan Lane. Bukunya, “Mask of Benevolence: Disabling the Deaf Community,” berfokus tentang audisme.

Sementara Humphries mengambil pendekatan individu terhadap gagasan hak istimewa pendengaran, Lane melihat pada lingkup yang lebih luas dari komunitas dan masyarakat secara keseluruhan.

Salah satu kutipan dari Lane mengatakan, “Singkatnya, audisme adalah cara mendengar untuk mendominasi, merestrukturisasi, dan menjalankan otoritas atas komunitas tunarungu.”

Bentuk audisme

Audisme dapat ditemukan dalam berbagai bentuk di berbagai lapisan masyarakat. Sikap ini dapat mempengaruhi pekerjaan seseorang, pendidikan, keadaan hidup, atau hanya dimasukkan ke dalam percakapan biasa.

Namun, cukup sering juga ditunjukkan bahwa orang yang mendengar dan tuli dapat memiliki sikap audis.

Berikut bentuk-bentuk audisme:

1. Menolak menggunakan bahasa isyarat di hadapan orang yang bergantung pada bahasa isyarat, meskipun tahu cara memberi isyarat.

2. Meremehkan orang yang tuli atau mendengar karena kelemahan dalam bahasa verbal, bahkan jika mereka kuat dalam bahasa isyarat.

3. Enggan untuk mengakomodasi kebutuhan pendengaran seseorang.

4. Menurunkan harapan dalam hal pendidikan atau kemampuan kerja karena mereka tidak dapat mendengar.

Lewat unggahan di akun Instagram, aktivis tuli Surya Sahetapy juga memaparkan bentuk sikap audisme.

– Tuli tidak mampu mencapai level orang dengar dalam berintelektual, berbahasa, berkarir, berkemampuan finansial, berkomunikasi dll
– Tuli tidak bisa jadi guru, pilot, pengacara, dokter dll.
– Tuli tidak bisa bawa mobil
– Tuli tidak bisa kuliah
– Tidak bisa berbicara, maka tidak punya masa depan
– Bahasa Isyarat membuat orang malas berbicara
– Tidak bisa berbaur dengan orang dengar
– Tidak pakai alat bantu dengar, maka tidak sukses
– Semua orang Tuli harus dipaksa latihan berbicara supaya pintar dan sukses
– Banyak pemikiran lainnya yang menghambat kemajuan Tuli-HoH sendiri

[Gambas:Instagram]

Sebagai catatan, audisme tidak selalu merujuk pada orang yang mungkin tidak mengenal budaya tunarungu.

Namun, label audis paling sering digunakan bagi mereka yang memiliki pengetahuan tentang budaya tunarungu tetapi memilih, karena satu dan lain alasan, untuk mengabaikan atau menentangnya.

Seperti halnya segala bentuk diskriminasi, niat harus dipertimbangkan ketika membahas audisme.

Penyebab audisme

Surya kemudian mengungkapkan sejumlah penyebab audisme terjadi di tengah masyarakat. Menurutnya, itu arena sistem pendidikan dan sosial memisahkan Tuli-HoH dan non disabilitas dalam kehidupan.

“Kebanyakan orang non Tuli-HoH baru memahami Tuli-HoH pada usia dewasa apalagi belajar bahasa isyarat,” tulisnya.

Berikut penyebab audisme:

1. tidak ada guru Tuli-HoH yang mengajarkan bahasa isyarat di sekolah umum
2. tidak ada pertukaran pelajar di antara sekolah Tuli-HoH dan umum (dengar, bukan normal)

Audisme sama nyatanya dengan bentuk diskriminasi lain dan dampaknya dapat dirasakan sama mendalamnya oleh orang-orang tuli dan sulit mendengar. Sebaiknya, setiap orang melakukan yang terbaik untuk tetap peka terhadap masalah ini. Mendidik diri sendiri tentang budaya tuli adalah salah satu cara yang dapat membantu Anda.

(agn)

[Gambas:Video ]




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *