Menimbang Kesiapan Nuklir RI, Jika Batubara Diblokir



Jakarta, Indonesia —

Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) buka suara dalam kesiapan Indonesia membangun Pembangkit Listrik tenaga Nuklir (PLTN) sebagai energi alternatif untuk mendukung net zero emission atau nol emisi buang.

Kepala BRIN, Laksana Tri Handoko pesimis pembangunan PLTN bisa dikerjakan oleh lembaganya. Hal itu disebutnya lantaran banyak mitra yang sudah bersertifikat dan teruji dalam membangun PLTN.

“Kalau komoditas sudah tentu banyak pemain yang sudah establish, bersertifikat, sudah teruji dan seterusnya. Tentu kita tidak bisa masuk di situ, maksudnya masuk di sisi pembangunan PLTN secara langsung,” ujar Handoko secara virtual, Selasa (16/11) siang.

Lebih lanjut Handoko mengatakan pihaknya hanya bisa berperan sebagai konsultan pemerintah untuk membantu dari sisi kebijakan pembangunan PLTN.

Sebelumnya Pemerintah Indonesia lewat Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membeberkan poin kesepakatan untuk bertahap menghentikan pemakaian energi batu bara pada 2040, di KTT perubahan iklim (COP 26).

Dalam kesepakatan konferensi iklim dunia COP26, akhirnya negara-negara pihak sepakat untuk menghentikan secara bertahap penggunaan batubara dan tidak menghapus sama sekali penggunaan bahan bakar fosil itu.

Sebelumnya, sempat dibuat kesepakatan untuk menghentikan penggunaan batubara pada 2040. Namun, beberapa negara seperti India dan China menolak penghentian dan meminta untuk dilakukan pengurangan saja.

Meskipun beberapa pihak mengekspresikan kekecewaannya, namun kesepakatan tersebut setidaknya merefleksikan adanya kondisi nasional yang berbeda-beda.

Sebelumnya, Presiden Joko Widodo sempat sepakat untuk penghentian penggunaan batu bara pada 2040. Namun, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan meminta hal itu mesti dikompensasi berupa pendanaan dari negara adidaya untuk Indonesia.

Nuklir potensial, tapi kurang bahan baku

Handoko menilai penggunaan energi nuklir bisa menjadi salah satu kontribusi untuk mendukung pengurangan emisi dengan target 23 persen pada 2025.

Pasalnya, saat ini sebesar 75 persen emisi yang dihasilkan merupakan hasil dari penggunaan energi fosil. Ia mengatakan Pemanfaatan Energi Baru dan Terbarukan (EBT) seperti nuklir disebut dapat menjadi salah satu solusi menuju Indonesia net zero emission.

Di samping itu Peneliti Ahli Utama Organisasi Tenaga Nuklir (ORTN BRIN), Djarot S Wisnubroto mengatakan pihaknya telah melakukan pendataan bahan baku operasional PLTN. Di antaranya kandungan uranium dan thorium.

Hasilnya, total sumber daya uranium di dalam negeri hanya sekitar 89 ton, dan thorium 1443 ribu ton. Sehingga, apabila Indonesia 10 tahun ke depan memiliki PLTN, maka nilai sumber daya tersebut dinilai kurang.

“Jadi kalau ditanya 10 tahun lagi kita punya PLTN dari mana uraniumnya? kita harus impor dan impor itu tidak salah,” ujar Djarot secara virtual, Selasa (16/11).

Ia mengatakan, negara produsen uranium paling banyak dunia saat ini adalah Kazakhstan. Negara pecahan Uni Soviet itu memiliki cadangan uranium sekitar 2 juta ton.

Meski terbilang memiliki sumber daya yang minim, Djarot mengklaim Indonesia memiliki kesiapan sumber daya manusia yang siap jika turut dilibatkan dalam penelitian bahan nuklir untuk energi terbaru.

Hal itu disebutnya lantaran SDM dalam negeri sudah bisa mengatasi masalah reaktor nuklir, melakukan pengelolaan limbah radioaktif, hingga mengkaji dan mendesain reaktor nuklir.

[Gambas:Video ]


Pengganjal Pembangkit Nuklir di Indonesia


BACA HALAMAN BERIKUTNYA



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *