Menyoal Kinerja Polisi yang ‘Tergantung’ pada Delik Viral



Jakarta, Indonesia —

Kasus kekerasan seksual seorang mendiang mahasiswi di Jawa Timur oleh polisi anggota Polres Mojokerto, Bripda Randy Bagus Sasongko, kembali menyegarkan ingatan publik bahwa kepolisian kerap memproses aduan kasus setelah viral di media sosial.

Pasalnya bukan kali ini saja delik viral membuat kepolisian memproses kembali sebuah kasus atau mulai mengusut satu perkara, apalagi kekerasan atau pelecehan seksual.

Contoh lainnya, kekerasan dan pelecehan menahun yang dialami pegawai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) hingga dugaan perkosaan anak oleh ayah di Luwu Timur, Sulawesi Selatan yang baru diusut setelah viral, dan perkaranya dibuka lagi. Tak heran beberapa waktu lampau sempat ramai tanda pagar (tagar) PercumaLaporPolisi di media sosial.

Menanggapi hal-hal tersebut, pakar menyatakan Mabes Polri harus bekerja keras agar segenap anggota Korps Bhayangkara menjalankan tugas dan menjaga kredibilitas sebagai institusi hukum di Indonesia.

Peneliti kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Bambang Rukminto menyebut kepolisian memang cenderung bergerak setelah kasus viral di media sosial. Hal itu terjadi terutama di kasus-kasus kekerasan seksual.

Bambang melihat ada masalah di tubuh Polri dalam memandang kekerasan seksual. Ia menyebut aparat kepolisian tidak punya perspektif korban dalam menyikapi kasus-kasus itu.

“Fakta yang terjadi kasus-kasus itu diangkat kembali ketika menjadi viral. Kasus-kasus yang terungkap ini sebetulnya adalah puncak gunung es dari problem mindset kepolisian terkait kekerasan pada perempuan,” kata Bambang saat dihubungi Indonesia.com, Senin (6/12).

Bambang menyebut kepolisian masih menganggap pelecehan sebagai suatu yang lumrah. Oleh karena itu, kasus-kasus kekerasan seksual tidak ditangani secara serius.

Menurutnya, hal ini berdampak buruk dalam memberi rasa keadilan kepada masyarakat. Korban tidak hanya harus memviralkan kasusnya, tapi juga harus berhadapan dengan paradigma aparat kepolisian.

“Kalau diungkap, banyak sekali, hanya saja ini masih tidak terungkap dan juga muncul ketakutan-ketakutan pada korban untuk mengungkap,” ujarnya.

Dihubungi terpisah, pengamat hukum dari Universitas Trisakti Abdul Fickar Hadjar menyampaikan hal serupa. Dari apa yang terjadi di lapangan, dia mengatakan tak bisa menampik fakta bahwa aparat kepolisian cenderung meremehkan kasus-kasus kekerasan seksual.

Selain itu, kepolisian juga dinilai tidak cepat tanggap dengan kasus yang mereka anggap kecil. Kebiasaan itu membuat proses-proses hukum di kepolisian harus menunggu viral sebelum diproses.

“Seharusnya sekecil apapun pelanggaran hukum itu harus ditegakkan hukumnya karena sesuai fungsi penegak hukum. Belakangan ini, dilihat banyak pihak kurang responsif ya kepolisian,” kata Fickar saat dihubungi Senin siang.

Fickar menegaskan penegakan hukum tidak bisa dilakukan dengan basis keriuhan di media sosial. Dia khawatir kasus-kasus yang tidak viral di media sosial akan diabaikan polisi.

Menurut Fickar, hal semacam ini tidak terjadi jika Polri benar-benar menjalankan jargon Presisi yang diusung Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Ia berkata Polri harus kembali pada tugasnya sebagai penegak hukum.

“Belum tentu setiap kasus bisa viral. Kemampuan orang beda-beda untuk memviralkan. Oleh karena itu, polisi jalankan fungsinya sebagai penegak hukum dengan benar tanpa membedakan kasus mana atau siapapun yang terlibat dalam pelanggaran hukum,” ujarnya.

“Inti dari Presisi itu kan responsibilitas, seberapa cepat polisi melakukan tugasnya sebagai penegak hukum,” tuturnya.

Buka halaman selanjutnya untuk tahu suara dari Mabes Polri…


Suara dari Mabes Polri


BACA HALAMAN BERIKUTNYA



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *