Mitos atau Fakta: Obat Diabetes Rusak Ginjal?



Jakarta, Indonesia —

“Dok, saya enggak mau minum ini karena merusak ginjal,” kata Prof Sidartawan Soegondo, menirukan ucapan pasiennya,

Hingga saat ini, Sidartawan yang merupakan dokter spesialis penyakit dalam-konsultan endokrin metabolik ini masih menemukan banyak pernyataan serupa dari pasien. Banyak pasien ragu untuk mengonsumsi obat diabetes karena khawatir akan kerusakan ginjal sampai-sampai harus cuci darah.

Sidartawan mengatakan kabar obar diabetes merusak ginjal itu hanya mitos belaka.

“Sebetulnya yang merusak ginjal itu kalau diabetesnya tidak terkontrol. Gula tinggi terus lalu terjadi kerusakan. Nah kalau sudah rusak, enggak bisa balik lagi [kondisinya],” kata Sidartawan dalam temu media bersama Nephrisol, Selasa (16/11).

Sidartawan menjelaskan bahwa konsumsi obat diabetes penting untuk mencegah komplikasi karena kadar gula darah yang tinggi pada pasien diabetes.

“Sangat penting melakukan edukasi. Komplikasi diabetes itu bisa terjadi di seluruh pembuluh darah besar, otak, jantung, kaki, tungkai, kemudian pembuluh darah kecil seperti mata, ginjal, ke mana-mana,” tutur Sidartawan.

Diabetes merupakan kondisi kelebihan kadar gula dalam darah. Terapi insulin baru ada 100 tahun lalu oleh Frederick Grant Banting, seorang ilmuwan asal Kanada. Sidartawan menuturkan peringatan Hari Diabetes Sedunia pun baru belakangan dirayakan bertepatan pada ulang tahun Banting di 14 November.

Menyusul terapi suntik insulin, beberapa tahun kemudian berkembang terapi pengobatan oral buat pasien diabetes. Obat mengontrol kadar gula darah pasien seumur hidup.

Dalam kesempatan serupa, Tunggul D. Situmorang, dokter spesialis penyakit dalam-konsultan ginjal dan hipertensi, mengatakan data dari Indonesia Renal Registry menunjukkan bahwa penyebab utama gagal ginjal adalah hipertensi dan diabetes yang tidak terkontrol. Ini pun senada dengan data global bahwa 2 dari 3 pasien cuci darah disebabkan diabetes dan hipertensi. Bahkan ada pasien yang membawa kedua jenis penyakit ini.

“Kalau memang sudah terkomplikasi dengan ginjal atau penyakit ginjal kronik, itu akan progresif. Yang bisa dilakukan hanya men-delay atau memperlambat progresivitasnya, terutama di tahap awal, saat belum ada gejala,” kata Tunggul.

(els/ptj)

[Gambas:Video ]




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *