Mungkinkah Paus Berikutnya dari Asia atau Afrika?



Jakarta, Indonesia

Vatikan saat ini sibuk mempersiapkan penyelenggaraan pemilihan Paus baru atau conclave usai paus yang menjabat sebelum Paus Fransiskus meninggal pada 21 April.

Dewan Kardinal memutuskan conclave digelar pada 7 Mei 2025. Sejumlah media melaporkan pemilihan ini akan diikuti 132 kardinal dari 71 negara.



ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sederet nama yang berpotensi menjadi Paus pun muncul. Beberapa di antaranya Kardinal Luis Antonio Tagle dari Filipina, Kardinal Charles Bo dari Myanmar, Kardinal Robert Sarah dari Guinea, dan Kardinal Peter Turkson dari Ghana.

Lalu, mungkinkah Paus berikutnya berasal dari Asia atau Afrika?

Di antara nama-nama yang muncul ke publik, Kardinal Tagle dianggap figur yang progresif di luar kardinal dari Eropa.

Dalam conclave ini, sekitar 80 persen kardinal elektor atau pemilih ditunjuk langsung oleh Paus Fransiskus. Secara efektif, hal tersebut mengubah wajah gereja Katolik yang jauh lebih mewakili negara-negara berkembang atau Global South.

Para kardinal yang punya hak pilih sekarang berasal dari 65 negara dan mayoritas berasal dari Afrika, Asia, dan Amerika Selatan. Perwakilan dari Eropa kini hanya sekitar 39 persen, lebih sedikit dibanding conclave pada 2013.

Para kardinal dari belahan bumi selatan cenderung sangat mendukung dorongan Paus yang progresif seperti isu keadilan sosial, perubahan iklim, menyerukan penghentian agresi Israel di Gaza, hingga meminta setop perang Rusia-Ukraina.

Namun, kehadiran kuat Global South tak bisa diabaikan begitu saja oleh Gereja di masa depan.

Motif Paus Fransiskus menunjuk para kardinal

Pakar Vatikan dan penulis buku Pope Francis Among the Wolves, Marco Politi, mengatakan penunjukkan kardinal oleh Fransiskus tak serta merta mendukung visinya.

“Beberapa kardinal terpilih baru dari negara-negara berkembang lebih konservatif dalam hal isu sosial dan gender, terutama yang menyangkut peran perempuan dan hak-hak kaum homoseksual dalam Gereja,” kata Politi, dikutip Al Jazeera pada Minggu (27/4).

Misalnya Kardinal Ambongo dari Kongo. Dia menjadi kardinal pada 2019, tetapi menentangkan keras paroki memberkati pasangan sesama jenis padahal diizinkan Paus Fransiskus.

Analis Vatikan Andrea Gagliarducci mengatakan para elektor dalam conclave akan mencari figur yang bisa membawa kedamaian dan merevolusi institusi gereja untuk.

“Fransiskus dipilih karena dia tak takut membuat kekacauan dan mereformasi. Kepausan selanjutnya harus seseorang yang bisa menenangkan keadaan,” kata Gagliarducci.

Bersambung di halaman berikutnya…





Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *