Musim Kemarau di Indonesia Mundur, Kapan Puncaknya?
Jakarta, Indonesia —
Badan Meteorologi, Klimatologi, Meteorologi (BMKG) menyebut sejumlah wilayah mengalami musim kemarau mundur dari yang diprediksi sebelumnya. Lantas, kapan puncak musim kemarau?
Berdasarkan hasil pemutakhiran Prediksi Musim Kemarau 2025 pada bulan Mei, BMKG mengatakan awal musim kemarau datang lebih lambat, terutama di Jawa dan Bali-Nusa Tenggara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Di Jawa, banyak zona musim (ZOM) yang semula diprediksi mengalami awal musim pada April III-Mei I kini bergeser menjadi Mei III-Juni I, dengan pergeseran mencapai 3-5 dasarian, khususnya di Jawa Tengah, DIY dan Jawa Timur.
Sementara di Bali dan Nusa Tenggara, pergeseran rata-rata terjadi 2-4 dasarian, dari April II-Mei I menjadi Mei III-Juni I.
Pergeseran ini juga menyebabkan kemarau datang lebih lambat dari normal di sebagian besar wilayah yang dimutakhirkan.
“Puncak musim kemarau secara umum tetap diprediksikan berkisar antara Juli – Agustus 2025. Di Jawa dan Papua, puncak musim kemarau cenderung lebih awal dibandingkan prediksi sebelumnya,” tulis BMKG dalam keterangannya, Senin (2/6).
“Sebaliknya, di Sulawesi dan Sumatera, puncak musim bergeser menjadi lebih lambat,” tambahnya.
Durasi musim kemarau juga diprediksikan menjadi lebih pendek di sebagian besar wilayah khususnya di Jawa, Sulawesi, dan Bali Nusa Tenggara.
Namun, hal sebaliknya terjadi di beberapa wilayah. BMKG menyebut sebagian kecil wilayah Sumatera, Jawa, Sulawesi dan Papua menunjukkan durasi yang lebih panjang, yakni lebih dari 24 dasarian.
Masih diguyur hujan
Meski sudah memasuki musim kemarau, sejumlah wilayah di Indonesia masih diguyur hujan dengan intensitas sedang hingga lebat pada awal Juni 2025.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengungkap, dalam sepekan terakhir hujan dengan intensitas lebat (50-100 mm/hari) hingga sangat lebat (100-150 mm/hari) masih terjadi di beberapa wilayah Indonesia, yang mayoritas berada di wilayah timur.
BMKG juga mengungkap sejumlah fenomena atmosfer diprediksi akan memengaruhi cuaca di wilayah Indonesia dalam sepekan ke depan.
Aktifnya gelombang ekuator seperti gelombang Kelvin, Low Frequency, dan Equatorial Rossby, adanya bibit siklon tropis 92W, serta sirkulasi siklonik meningkatkan peluang terbentuknya awan-awan konvektif di beberapa wilayah.
Di sisi lain, labilitas atmosfer skala lokal, baik dari interaksi angin darat/laut maupun dari faktor geografis lainnya, turut memperkuat proses konvektif di wilayah selatan Indonesia.
Faktor-faktor tersebut, diperkuat dengan kondisi atmosfer yang relatif basah, dinamika tropis dan topografi di masing-masing wilayah, dapat menyebabkan hujan lokal dengan intensitas sedang hingga lebat pada siang hingga sore hari yang disertai kilat/petir yang tidak merata dengan waktu singkat,” ujar BMKG.
(lom/dmi)