Novia Widyasari Alami Kekerasan Dalam Pacaran
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani mengatakan kasus dugaan eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi yang dilakukan Bripda Randy Bagus Hari Sasongko kepada almarhum Novia Widyasari (NWR) merupakan bentuk kekerasan dalam pacaran.
Andy mengatakan kekerasan dalam pacaran hampir selalu menempati urutan ketiga terbanyak dalam kasus kekerasan yang dilaporkan ke Komnas Perempuan.
“Kasus NWR ini sesungguhnya merupakan salah satu kasus dalam pacaran yang banyak dilaporkan pada Komnas Perempuan dan lembaga pendamping,” kata Andy dalam konferensi pers virtual yang digelar pada Senin (6/12).
Andy menjelaskan, selama kurun 2015-2020 terdapat 12 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan yang dilaporkan kepada lembaga pendamping di 34 provinsi. Sebanyak 20 persen atau 2.400 kasus di antaranya merupakan kekerasan di ruang privat atau personal.
“Di kurun waktu yang sama ini kira-kira setiap tahunnya Komnas Perempuan menerima rata-rata 150 kasus kekerasan dalam pacaran yang dilaporkan,” tutur Andy.
Menurut Andy, proses hukum kasus kekerasan dalam pacaran kerap kali berakhir buntu. Korban kerap diposisikan sebagai pihak yang salah karena hubungan pacaran yang ia miliki dan dianggap suka sama suka.
Dalam kasus pemaksaan aborsi yang Novia alami, kata Andy, korban kerap kali ditempatkan sebagai pihak yang melakukan tindak kriminal.
“Sementara pihak laki-laki justru bisa melenggang pergi saja karena tidak terjerat oleh hukum,” tuturnya.
Kekerasan Melonjak, Aduan Mengantre
Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi mengatakan kasus yang dialami Novia merupakan satu dari 4.500 kasus kekerasan terhadap perempuan yang diterima Komnas Perempuan selama Januari hingga Oktober 2021.
Menurut Siti, jumlah aduan yang Komnas Perempuan terima melonjak dua kali lipat jika dibandingkan dengan aduan yang pihaknya terima pada 2020. Sementara itu, Siti mengakui bahwa sumber daya Komnas Perempuan terbatas dan tetap berupaya memperbaiki sistem penyikapan aduan.
Karena tidak bisa mendampingi korban secara langsung, Komnas Perempuan kemudian bekerja sama dengan berbagai mitra lembaga layanan.
“Lonjakan kasusnya sendiri mengakibatkan antrian kasus yang panjang, sehingga keterlambatan penyikapan merupakan kekhatiran yang terus kami pikul,” kata Siti dalam forum yang sama.
Siti menyebut kekhawatiran Komnas Perempuan semakin menjadi sejak kuartal kedua 2021. Pada pertengahan 2021, kata dia, semakin banyak lembaga layanan yang kewalahan menerima rujukan. Di sisi lain, berbagai aduan kekerasan membanjiri mereka di tengah sumber daya yang terbatas.
Karena keadaan tersebut, lembaga layanan di berbagai daerah tidak bisa bekerja memberikan layanan sebagaimana yang diharapkan. Di saat yang bersamaan, hanya 30 persen kebijakan daerah yang menerapkan sistem pemulihan terhadap korban. Akibatnya, keberadaan psikolog di daerah menjadi hal yang mewah.
“Situasi lembaga layanan serupa ini jelas merupakan ‘bom waktu’ terutama di hadapan lonjakan kasus kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual. Kasus NWR adalah akibat yang sangat memilukan dari situasi ini,” tuturnya.
Sebelumnya, Komnas Perempuan menyebut almarhum Novia Widyasari pernah mengadukan peristiwa kekerasan yang dialaminya selama dua tahun ke Komnas Perempuan.
Berdasarkan aduan dan komunikasi yang Komnas Perempuan lakukan dengan korban pada November lalu, korban disebut mengalami eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi.
Novia Widyasari ditemukan meninggal dunia di dekat pusara ayahnya, Kamis (2/12). Diduga kuat ia bunuh diri usai mengalami depresi akibat diperkosa kekasihnya, dan dipaksa aborsi sebanyak dua kali dalam kurun waktu 2020-2021.
Kekasih Novia, Bripda Randy Bagus, saat ini telah ditetapkan tersangka dan ditahan di Mapolres Mojokerto. Ia disangkakan sanksi etik dan Pasal 348 KUHP tentang aborsi, dengan ancaman hukuman paling lama 5,5 tahun.
(iam/pmg)