Omicron Belum Terdeteksi, Epidemiolog Singgung Tes WGS Minim
Epidemiolog Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menyoroti jumlah pemeriksaan dengan metode Whole Genome Sequencing (WGS) yang masih minim. Menurutnya, pemeriksaan WGS Indonesia baru 0,22 persen dari total kasus Covid-19 yang ada.
Atas dasar itu, ia menganggap wajar jika virus corona (Covid-19) varian omicron belum terdeteksi di Indonesia karena jumlah WGS yang masih minim.
“Sebetulnya kalau bicara WGS itu setidaknya ambang batas minimal banget itu 1 persen. Kalau Indonesia kalau melihat itu 0,22 persen dari total kasus. Itu sedikit sekali ya, Inggris itu bisa 8 ribu pemeriksaan WGS sehari,” kata Dicky saat dihubungi Indonesia.com, Jumat (10/12).
Dengan total 4.258.560 kasus positif, maka paling sedikit Indonesia harus melakukan pemeriksaan WGS terhadap sekitar 42 ribu spesimen.
Merujuk data Balitbangkes Kementerian Kesehatan per 6 Desember, baru ada 9.527 spesimen yang diperiksa dengan metode WGS. Hanya bertambah 949 spesimen dari 13 November lalu yang berjumlah 8.578.
“Kalau WGS masalahnya adalah ini kan teknologi tinggi, kemudian kenapa dia mahal itu terutama kalau kita bicara perbandingan secara rata-rata itu bisa sampai Rp6 jutaan sekali periksa. Kalau pemerintah serius dalam merespons, harus diperkuat alokasi anggaran untuk WGS ini,” kata dia.
Dicky mendorong Indonesia agar memperbanyak laporan sampel WGS kepada lembaga Global Initiative on Sharing All Influenza Data (GISAID), suatu lembaga bank data yang saat ini menjadi acuan untuk data genome virus corona.
Dicky lalu mengingatkan pemerintah jangan pernah menganggap enteng varian Omicron meski tidak memiliki dampak buruk terhadap pasien.
Menurut Dicky, mayoritas kasus warga yang terinfeksi varian Omicron adalah mereka yang belum menerima vaksin Covid-19. Pula, lebih banyak menginfeksi usia muda sehingga tergolong berbahaya.
Terlebih, Badan Kesehatan Dunia (WHO) sudah mengklasifikasikan omicron sebagai variant of concern (VoC) alias varian yang diwaspadai sejak November lalu.
(khr/bmw)