One Piece di Bawah Bayang-bayang Live-Action Manga yang Gagal
Jakarta, Indonesia —
Pengumuman Netflix terkait jajaran aktor yang akan bermain dalam One Piece versi live-action, Rabu (10/11) pagi waktu Indonesia, jelas menjadi kejutan besar bagi penggemar kisah petualangan kelompok Bajak Laut Topi Jerami tersebut.
Kabar itu kemudian membagi penggemar menjadi dua kubu, pro dan kontra. Bagi mereka yang mendukung, kisah petualangan itu berpeluang hadir dalam visual yang lebih riil dan menjadi penyemangat tersendiri.
Namun di sisi lain, munculnya respons penolakan pun bisa dipahami. Bagaimana tidak, dari sekian banyak manga/anime/kartun yang digarap menjadi versi live-action, hanya sedikit yang berhasil memikat hati para penonton.
Ambil contoh Dragon Ball karya Akira Toriyama yang dianggap salah satu legenda animasi di Jepang. Saking melegendanya, sejumlah komikus saat ini menjadikan Dragon Ball sebagai acuan dalam berkarya.
Namun citra dan kegemilangan Dragon Ball rusak saat Hollywood ikut campur dengan menggarap versi live-action dari Son Goku cs. Dragon Ball Evolution (2009) merupakan kegagalan besar sehingga proyek sekuel film itu tidak pernah dilanjutkan. Padahal film itu menggaet sutradara kenamaan James Wong dan diproduseri oleh Stephen Chow, serta didistribusikan oleh 20th Century Fox.
Contoh lainnya adalah Attack On Titan. Anime Attack On Titan begitu sukses dan populer kala rilis di Netflix. Namun kegemilangan kisah manusia berhadapan dengan para raksasa itu tak bisa diikuti oleh versi live action pada 2015. Bahkan film dua bagian itu layak disebut flop.
Satu lagi bukti kegagalan live-action dalam mengikuti anime: Death Note.
Sama seperti One Piece, Death Note live-action digarap Netflix dan tayang pada 2017. Sayang, popularitas Death Note versi manga dan anime tak mampu diikuti oleh versi live-action dan membuat Netflix dicibir banyak orang.
Tiga contoh karya populer di atas punya kesamaan dengan One Piece. Mereka adalah genre fantasi yang sudah pasti tidak mungkin terjadi di dunia nyata.
Pada kasus Dragon Ball, sosok Son Goku yang berasal dari planet lain terasa ganjil dalam versi live-action mengingat bukti nyata keberadaan alien belumlah ada. Belum lagi sosok raksasa Titan di dunia Attack On Titan.
Sementara Death Note, apakah di dunia ini benar-benar ada sebuah buku yang bila nama seseorang ditulis di buku itu maka orang itu akan mati? Rasanya tidak.
Berkaca dari itu semua, apakah One Piece akan menemui kegagalan yang sama? Jawabannya bisa ya, bisa tidak.
Live-action One Piece akan gagal jika mereka tak bisa memenuhi ekspektasi para penggemar One Piece yang sudah pasti memiliki standar penilaian tinggi. Terutama soal visualisasi pertarungan yang jadi salah satu nilai jual One Piece.
Pada versi manga, adegan bertarung para karakter sering digambar sangat megah dan membuat banyak orang berdecak kagum. Kemegahan di versi manga pun sukses ditelurkan menjadi versi anime yang tidak kalah memukau.
Toei Animation sebagai pemegang hak anime One Piece sukses memvisualisasikan apa yang digambar Eiichiro Oda dalam versi manga, dan membuat popularitas anime One Piece tak kalah dengan versi manga.
Hal itulah yang mesti dijawab dan disadari oleh Netflix kala mereka memutuskan menggarap One Piece dalam bentuk live-action.
Bila Netflix begitu sembrono dan gagal memenuhi ekspektasi dari para penggemar One Piece yang setia, maka live-action itu hanya akan menambah daftar kegagalan film live-action menghidupkan karya manga fantasi dalam bentuk lebih riil.
Namun ada satu kunci yang rasanya bisa menyelamatkan One Piece dari bayang-bayang kegagalan live-action adaptasi manga, yaitu keterlibatan sang kreator, Eiichiro Oda.
lanjut ke sebelah…
Kunci di Eiichiro Oda