Pakar UGM Sebut Hukuman Mati Heru Hidayat Sulit Dikabulkan Hakim



Jakarta, Indonesia —

Tuntutan hukuman mati terhadap terdakwa kasus dugaan korupsi pengelolaan dana keuangan dan investasi PT ASABRI (Persero), Heru Hidayat dinilai akan sulit untuk dikabulkan oleh Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tersebut.

Pakar Hukum Universitas Gajah Mada (UGM), Muhammad Fatahillah Akbar menilai hakim akan sulit menjatuhkan vonis mati tuntutan dari Jaksa tersebut tidak sesuai dakwaan. Kalau pun hakim mengabulkannya, maka terdakwa bisa mengajukan banding sebab vonis tersebut ultra petitum alias putusan di luar surat dakwaan.

“Jika hal tersebut diputuskan hakim, maka bisa dilakukan banding karena putusan ultra petitum. Tidak bisa diputuskan begitu oleh hakim, kalau hakim putuskan begitu, ya banding. Itu putusan keliru, ultra petitum namanya. Tidak boleh lebih dari surat dakwaan,” kata Akbar saat dihubungi, Selasa (14/12).

Akbar mengatakan bahwa Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam dakwaannya tak menyematkan pasal yang memungkinkan penggunaan hukuman mati dalam perkara korupsi yang menjerat Heru Hidayat tersebut.

Ia pun menyangsikan penggunaan frasa ‘keadaan tertentu’ yang menjadi dalil bagi Jaksa dapat menuntut mati terdakwa perkara itu. Menurutnya, kasus Asabri tidak dalam kondisi seperti bencana nasional atau krisis moneter sebagaimana diamanatkan Undang-undang.

“Pertanyaan terbesarnya adalah apakah terpenuhi keadaan tertentu. Tidak ada dana-dana bencana, krisis dan dana penanggulangan dikorupsi,” jelasnya.

Pemberian pidana mati dimungkinkan dalam kasus korupsi merujuk pada Pasal 2 ayat (2) Undang-undang Tindak Pidana Korupsi. Namun demikian, terdapat frasa ‘keadaan tertentu’ dalam suatu perkara korupsi yang memungkinkan hukuman itu dapat dijatuhkan.

Akbar mengatakan, hakim sebelum mengambil keputusan perlu mengadakan musyawarah terakhir. Hal itu merujuk pada ketentuan dalam Pasal 182 ayat (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana. Dimana, musyawarah tersebut akan mengajukan pada surat dakwaan dan pemeriksaan selama sidang.

“Harus didasarkan pada dakwaan dan pembukaan saja, tidak boleh pasal lain,” kata Akbar.

Selain itu, Akbar juga menilai bahwa tuntutan hukuman mati tidak diperlukan dalam perkara tersebut mengingat fokus Kejaksaan untuk mengembalikan kerugian keuangan negara akibat kasus korupsi tersebut.

Upaya tuntutan mati itu, dianggap Akbar malah kontraproduktif dengan pengembalian keuangan negara.

“Jika dipidana mati, maka Heru tidak akan peduli dengan aset yang dijatuhi pidana pengganti. Sekarang kalau tidak bayar Pidana Pengganti kan subsidair penjara sekian tahun penjara. Jika dipidana mati buat apa membayar uang pengganti. Pada dasarnya kalau konsepnya recovery tidak pidana mati,” tandasnya.

Sebagai informasi, tuntutan hukuman mati itu diajukan Jaksa lantaran Heru juga merupakan terpidana dalam kasus dugaan tindak pidana korupsi PT Jiwasraya (Persero) yang merugikan keuangan negara hingga Rp16,8 triliun. Dimana, dalam kasus itu atribusi keuntungan Heru mencapai Rp10,7 triliun.

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Leonard Eben Ezer Simanjuntak mengatakan bahwa skema kejahatan yang dilakukan terdakwa di kedua kasus mega korupsi tersebut sangat sempurna dan dilakukan secara berulang-ulang.

Selain itu, Kejaksaan juga mengatakan bahwa Heru Hidayat tak memiliki empat lantaran tak beritikad baik mengembalikan hasil kejahatan yang diperolehnya secara sukarela.

Selama proses penyidikan hingga persidangan, kata dia, terdakwa juga tak menunjukkan bahwa perbuatan yang dilakukan terdakwa salah dalam kasus tersebut.

“(Perbuatan terdakwa) Telah menghancurkan wibawa negara karena telah menerobos sistem regulasi dan sistem pengawasan di Pasar Modal dan Asuransi dengan sindikat kejahatan yang sangat luar biasa berani, tak pandang bulu, serta tanpa rasa takut yang hadir dalam dirinya dalam memperkaya diri secara melawan hukum,” kata Leonard, Selasa (7/12).

Sebelumnya tim pengacara Heru Hidayat melayangkan protes atas tuntutan hukuman mati yang diberikan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) terhadap kliennya dalam sidang yang digelar Senin (6/12).

Tuntutan itu dianggap menyalahi aturan lantaran Jaksa tak mencantumkan pasal yang memungkinkan pemberian hukuman tersebut dalam dakwaannya.

“Dalam dakwaannya, JPU mendakwa Heru Hidayat dengan pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU Tipikor, serta Pasal 3 dan 4 UU TPU. Sehingga bagaimana mungkin JPU menuntut Heru Hidayat di luar pasal yang ada di dakwaan,” kata pengacara Heru Hidayat, Kresna Hutauruk kepada wartawan, Selasa (7/12).

(mjo/DAL)

[Gambas:Video ]




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *