Pasal Menyerang Kehormatan di UU ITE Tak Berlaku untuk Pemerintah



Jakarta, Indonesia

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian permohonan aktivis lingkungan Karimunjawa Daniel Frits Maurits Tangkilisan terkait Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE). MK menyatakan Pasal menyerang kehormatan sebagaimana diatur dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE tak berlaku bagi pemerintah hingga korporasi.

Pasal 27A UU ITE berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik.”

Sedangkan Pasal 45 ayat (4) UU ITE berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan cara menuduhkan suatu hal, dengan maksud supaya hal tersebut diketahui umum dalam bentuk Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang dilakukan melalui Sistem Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27A dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun dan/atau denda paling banyak Rp400.000.000,00.”



ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian,” ucap Ketua MK Suhartoyo saat membacakan amar putusan perkara nomor: 105/PUU-XXII/2024 di Gedung MK, Selasa (29/4).

MK menyatakan frasa “orang lain” dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) Undang-undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang ITE bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “kecuali lembaga pemerintah, sekelompok orang dengan identitas spesifik atau tertentu, institusi, korporasi, profesi atau jabatan.”





MK juga menyatakan frasa “suatu hal” dalam Pasal 27A dan Pasal 45 ayat (4) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “suatu perbuatan yang merendahkan kehormatan atau nama baik seseorang.”

Lebih lanjut, MK menyatakan frasa “mendistribusikan dan/atau mentransmisikan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu” dalam Pasal 28 ayat (2) dan Pasal 45A ayat (2) UU ITE bertentangan dengan UUD 1945, sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang tidak dimaknai “hanya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang secara substantif memuat tindakan/penyebaran kebencian berdasar identitas tertentu yang dilakukan secara sengaja dan di depan umum, yang menimbulkan risiko nyata terhadap diskriminasi, permusuhan, atau kekerasan”.

Pasal 28 ayat 2 UU ITE sebelumnya berbunyi: “Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin, disabilitas mental, atau disabilitas fisik.”

Sedangkan Pasal 45A ayat (2) UU ITE berbunyi: “Setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang sifatnya menghasut, mengajak, atau memengaruhi orang lain sehingga menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan ras, kebangsaan, etnis, warna kulit, agama, kepercayaan, jenis kelamin,disabilitas mental, atau disabilitas fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00.”

“Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam Berita Negara Republik Indonesia sebagaimana mestinya,” kata hakim MK.

“Menolak permohonan pemohon untuk selain dan selebihnya,” tandasnya.

Pertimbangan hakim

MK memandang penting penegasan konstitusionalitas frasa “orang lain” karena dalam penjelasan umum UU 1/2024 dalam penerapannya banyak menimbulkan keberatan di masyarakat. Penegasan itu penting untuk memberikan kejelasan pemenuhan kewajiban negara dalam melindungi, memajukan, menegakkan serta memenuhi hak asasi manusia sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (4) UUD 1945.

“Penegasan tersebut penting artinya untuk memberikan kepastian hukum dalam menegakkan Pasal 27A UU 1/2024, di mana ketentuan Pasal a quo berkaitan dengan Pasal 45 ayat (7) UU 1/2024 yang menyatakan pada pokoknya perbuatan menyerang kehormatan atau nama baik orang lain dengan menuduhkan suatu hal tidak dapat dipidana jika perbuatan tersebut dilakukan untuk kepentingan umum atau karena terpaksa membela diri,” kata hakim MK.

Maksud kepentingan umum tersebut dijelaskan dalam penjelasan Pasal 45 ayat (7) UU 1/2024 adalah dalam rangka melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi misalnya melalui unjuk rasa atau kritik.

Pada dasarnya, kritik dalam kaitan dengan Pasal 27A UU 1/2024 merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan masyarakat [vide Penjelasan Pasal 45 ayat (7) huruf a UU 1/2024].

“Artinya, tanpa Mahkamah bermaksud menilai kasus konkret yang dialami pemohon, terhadap kritik yang konstruktif, in case terhadap kebijakan pemerintah untuk kepentingan masyarakat, merupakan hal yang sangat penting sebagai sarana penyeimbang atau salah satu sarana kontrol publik yang justru harus dijamin dalam negara hukum yang demokratis sebagaimana hal tersebut ditentukan dalam Pasal 28E ayat (3) UU 1/2024,” ucap hakim MK.

Baca halaman berikutnya….





Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *