Pengamat Nilai Borok Konser di Indonesia Bukan Cuma Promotor Bapuk
Kecaman terhadap penyelenggaraan konser DAY6 di Stadion Madya Gelora Bung Karno (GBK) Jakarta pada 3 Mei 2025 menyingkap banyak borok di industri pertunjukan Indonesia yang tidak kunjung tuntas.
Akademisi manajemen pertunjukan musik UPH Yosia Revie Pongoh menilai akar persoalan dari sengkarut ini adalah nihilnya regulasi dan sistem akuntabilitas terhadap promotor.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Revie mengatakan kepada Indonesia.com, Senin (5/5), keadaan itu memicu promotor beroperasi dengan standar masing-masing karena tidak ada standar mutu bagi promotor.
“Akar masalahnya pasti karena ketidakcakapan dari promotor, atau tidak kompeten. Tapi kalau kita lihat lebih jauh lagi, tampaknya ada kekosongan regulasi di sini dan juga masih lemah sistem akuntabilitas industri pertunjukan di Indonesia,” ungkap Revie.
“Belum ada standar cukup ketat yang mengelola dan mengatur manajemen venue, mitigasi risiko, manajemen tiket, atau penanganan masalah force majeure seperti yang kemarin di konser DAY6,” sambungnya.
Persoalan itu pada akhirnya merugikan penonton selaku konsumen. Padahal menurut Revie, bisnis promotor musik sejatinya menawarkan produk berupa pengalaman dan kenyamanan penonton selama pertunjukan.
Dua hal tersebut kerap kali tidak terpenuhi, seperti yang terjadi dalam konser DAY6 di Jakarta pada 3 Mei 2025. Konser itu menuai protes dari kalangan penggemar karena berbagai kerugian yang harus dialami hingga pertunjukan berlangsung.
Revie juga menilai peristiwa itu bukan masalah baru di industri pertunjukan. Ia bahkan menilai industri belum memadai karena tidak punya akreditasi dan pengawasan yang terpadu.
Persoalan sistem regulasi itu masih minim, apalagi jika dibandingkan dengan sektor-sektor jasa lain yang sudah lebih mapan dari hulu ke hilir.
“Sekarang siapa aja bisa jadi promotor, bikin event, jual tiket, mengundang artis tanpa harus menjalani uji kelayakan sebagai promotor,” ungkapnya.
“Jadi, promotor yang punya rekam jejak yang buruk enggak berdampak secara hukum, tidak ada akibat hukumnya di situ. Inilah bukti bahwa industri kita ini masih minim dalam hal pengawasannya dan belum juga diatur hal-hal lain seperti di sektor jasa lainnya,” lanjut Revie.
Revie kemudian mendorong pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pariwisata hingga Kementerian Ekonomi Kreatif, untuk merancang regulasi yang matang untuk industri pertunjukan Indonesia.
Ia menilai penyusunan regulasi, meliputi kerangka hukum dan teknis, dalam industri pertunjukan di Indonesia harus setara sektor lainnya. Regulasi itu penting untuk menjamin hak-hak konsumen yang masih rawan terabaikan.
Lanjut ke sebelah…