Penyebab Skizofrenia, Gangguan Mental yang Sering Dikira Kerasukan


Daftar Isi



Jakarta, Indonesia

Skizofrenia kerap disalahartikan sebagai gangguan gaib hingga tuduhan ‘kurang iman’. Padahal, penyebab skizofrenia nyata ditemukan di tengah masyarakat.

Dokter spesialis kejiwaan di Siloam Hospital Bogor Lahargo Kembaren mengatakan, skizofrenia adalah gangguan dalam menilai realitas yang bisa dipicu oleh berbagai faktor, baik internal maupun eksternal dari pasien tersebut.

“Penderitanya tidak bisa membedakan mana yang nyata dan mana yang tidak nyata. Penyebab skizofrenia bersifat multifaktor, alias tidak berdiri sendiri,” kata Lahargo saat dihubungi Indonesia.com, Rabu (21/5).



ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Ada tiga faktor utama yang jadi pemicu skizofrenia. Di antaranya adalah faktor biologis, psikologis, dan sosial.

1. Faktor biologis

Penyebab biologis menjadi fondasi utama mengapa skizofrenia bisa muncul.

Di dalam otak penderita skizofrenia, terdapat ketidakseimbangan zat kimia otak atau neurotransmitter yang berperan dalam munculnya gejala seperti halusinasi dan delusi.

“Ini [skizofrenia] gangguan medis. Seperti penyakit fisik lain, seperti diabetes atau jantung. Bukan karena kerasukan atau hal-hal mistis,” tegas Lahargo.

Beberapa faktor biologis yang meningkatkan risiko skizofrenia antara lain:

– Genetik atau keturunan

Jika ada anggota keluarga dengan riwayat gangguan jiwa, maka risiko skizofrenia meningkat. Hubungan darah memegang peran penting dalam faktor risiko ini.

– Gangguan saat kehamilan

Ibu hamil yang mengalami stres berat, gangguan fisik, atau emosional maka bisa memengaruhi perkembangan saraf janin. Ketika lahir atau menuju dewasa, anak berpotensi mengalami gangguan mental ini.

– Komplikasi saat persalinan

Pregnant woman holding blanket, feeling abdominal pain, risk of miscarriageIlustrasi. Komplikasi saat persalinan, salah satu penyebab skizofrenia. (iStockphoto/Motortion)

Proses kelahiran yang tidak lancar atau bermasalah bisa memicu gangguan neurologis yang berkaitan dengan skizofrenia.

– Cedera kepala atau kejang

Trauma kepala serius, kejang, atau penyakit berat yang mengenai otak bisa mengganggu fungsi saraf dan meningkatkan risiko skizofrenia.

– Penggunaan zat adiktif

Konsumsi alkohol berlebihan dan penggunaan narkoba dapat merusak sirkuit otak. Pada individu dengan kerentanan biologis, kebiasaan ini bisa memicu gangguan skizofrenia.

2. Faktor psikologis

Faktor psikologis berkaitan dengan pengalaman hidup yang menyakitkan atau traumatis. Luka batin yang tak terlihat ini ternyata bisa meninggalkan dampak serius pada kesehatan jiwa.

“Misalnya pernah mengalami kekerasan, di-bully, kehilangan orang terkasih, atau hidup dalam relasi yang penuh tekanan. Semua itu bisa memicu skizofrenia pada individu yang rentan,” ujar Lahargo.

Faktor psikologis yang dapat memicu skizofrenia antara lain:

– kekerasa fisik, verbal, atau seksual;
– pengalaman di-bully atau ditindas di masa kecil atau remaja;
– kehilangan mendalam, seperti kematian orang yang sangat dicintai;
– ekspektasi atau tekanan hidup yang tidak realistis;
– hubungan sosial yang tidak sehat atau penuh konflik.

3. Faktor sosial

Faktor sosial mencakup segala tekanan dari lingkungan yang terus-menerus mengikis ketahanan mental seseorang. Stres kronis karena kondisi sosial tertentu dapat memperbesar risiko gangguan jiwa, termasuk skizofrenia.

“Pola asuh yang buruk, tekanan di sekolah atau tempat kerja, hingga konflik dalam keluarga, semuanya bisa jadi stressor sosial yang berat,” jelas Lahargo.

Beberapa faktor sosial yang dapat berkontribusi:

– tekanan akademik atau pekerjaan;
– masalah ekonomi;
– lingkungan yang tidak suportif;
– pola asuh yang keras atau tidak konsisten;
– kurangnya dukungan sosial dan keluarga.

Dengan banyaknya faktor penyebab, skizofrenia perlu dipahami sebagai penyakit kompleks yang membutuhkan penanganan profesional dan dukungan jangka panjang. Pemahaman yang tepat dari masyarakat adalah langkah awal untuk mengurangi stigma dan meningkatkan kualitas hidup penderita.

“ODS atau orang dengan skizofrenia itu bukan cari perhatian. Mereka butuh dirawat, didampingi, dan dipahami. Ini gangguan kesehatan, sama seperti penyakit lainnya,” tutup Lahargo.

(tis/asr)




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *