Pergub Sultan Yogyakarta Soal Larangan Demo Bakal Direvisi



Yogyakarta, Indonesia —

Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menyatakan akan merevisi Peraturan Gubernur (Pergub) DIY Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pengendalian Pelaksanaan Penyampaian Pendapat di Muka Umum Pada Ruang Terbuka.

Penerbitan Pergub ini sebelumnya sempat menuai polemik lantaran substansinya dianggap membatasi aksi unjuk rasa atau demonstrasi di sepanjang Jalan Malioboro dan sejumlah objek vital nasional lainnya.

Sekda DIY, Kadarmanta Baskara Aji mengatakan, revisi didasarkan pada Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) oleh Ombudsman RI Perwakilan DIY (ORI DIY).

“Tentu kita akan lakukan beberapa perbaikan di situ, terutama kan di prosedurnya, bukan di materinya. Jadi yang berubah itu tidak banyak, tapi prosedurnya yang harus kita revisi, kan begitu rekomendasinya,” kata Aji di Kompleks Kepatihan, Kota Yogyakarta, Senin (29/11).

Sebagai informasi, pergub sendiri mengatur pelarangan aksi unjuk rasa di sejumlah tempat termasuk Malioboro.

Dalam Pasal 5 ditulis, ‘Penyampaian pendapat di muka umum dilaksanakan di ruang terbuka untuk umum di daerah sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, kecuali di kawasan: Istana Negara Gedung Agung; Keraton Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat; Keraton Kadipaten Pakualaman; Kotagede; dan Malioboro.’

Demonstrasi hanya bisa dilakukan pada radius 500 meter dari pagar atau titik terluar. Sementara di kawasan larangan tersebut terdapat sejumlah lembaga negara, seperti Gedung DPRD DIY dan Kantor Pemda DIY.

Aji melanjutkan, Pemda DIY akan mengubah aturan radius demonstrasi menjadi 200 meter dari titik terluar lokasi-lokasi di atas. Begitu pula jalur menuju kantor Gubernur serta DPRD DIY akan lebih dipertegas.

“Kemarin kan 500 (meter), mungkin ini akan lebih sempit lagi, 200 (meter). Kemudian jalur, untuk ke arah dewan dan Kepatihan lewat mana akan dipertegas,” ucapnya.

Untuk diketahui, pihak ORI juga telah menemui Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengku Buwono X di Kompleks Kepatihan guna memonitoring implementasi saran terkait Pergub Nomor 1 Tahun 2021 ini.

Pasalnya, ORI DIY sebelumnya melalui Laporan Akhir Hasil Pemeriksaan (LAHP) menyimpulkan bahwa Pemda DIY telah melakukan tindak maladministrasi dalam proses penyusunan dan penetapan beleid ini. Sultan pun diberi waktu 30 hari guna melaksanakan langkah korektif.

Wakil Ketua ORI, Bobby Hamzar Rafinus mengatakan, Pemda DIY telah mengirimkan laporan tindak lanjut aduan kepada pihaknya dalam kurun waktu kurang dari 30 hari.

Lewat laporan itu pula disampaikan jika Pemda DIY telah menggelar dua kali diskusi publik demi menampung masukan masyarakat terkait substansi Pergub. Termasuk dengan mengundang warga di sekitar kawasan Malioboro maupun pedagang kaki lima (PKL) di sana. Hal ini dilakukan karena ORI sebelumnya menilai bahwa Pemda DIY tidak melibatkan masyarakat dalam proses penyusunan Pergub itu.

Bobby turut menyarankan supaya Pemda DIY duduk bersama dengan para akademisi maupun pegiat demonstrasi. Musababnya, merekalah yang bakal terdampak jika kebijakan larangan demonstrasi diberlakukan.

“Sehingga pelaksanaan Pergub tersebut bisa diterima seluruh kalangan masyarakat,” kata Bobby di Kompleks Kepatihan, Senin (29/11).

Kepala Kantor Perwakilan ORI DIY, Budhi Masthuri menambahkan, kepada pihaknya, Pemda DIY menyatakan akan mengubah pendekatan Pergub tersebut. Bukan lagi pada pembatasan aktivitas unjuk rasa, namun lebih ke upaya pengaturan rute.

“Pergub menyangkut pengaturan bagaimana kelompok masyarakat akan menyampaikan pendapat. Sekarang ini ada pembatasan misalnya jarak, ini jadi poin teman-teman pegiat demonstrasi untuk ditinjau kembali,” bebernya.

Senada dengan Bobby, baginya, Pemda DIY perlu mengundang dan menampung praktisi demokrasi, termasuk organisasi sipil Aliansi Rakyat untuk Demokrasi Yogyakarta (ARDY). Aliansi inilah yang sebelumnya melayangkan laporan ke ORI DIY terkait Pergub larangan demo tersebut.

Diakui Budhi, Pemda DIY memang telah mengundang ARDY dalam diskusi publik terkait diskusi beleid ini. Kendati aliansi tak mengirimkan perwakilannya lantaran mendadaknya undangan dari Pemda.

“Kami melihat pertemuan yang digelar belum mewakili kelompok yang kepentingannya terdampak dari kebijakan itu. Misalnya BEM, akademisi, atau mereka yang bergerak di bidang praktisi demokrasi,” kata dia.

(kum/kid)

[Gambas:Video ]




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *