Polisi Kembali Tangkap 2 Orang Terlibat Grup Gay di Surabaya




Surabaya, Indonesia

Polisi kembali menangkap dua orang yang diduga terlibat dalam jaringan kelompok penyuka sesama jenis atau gay di media sosial. Mereka dijerat dengan Undang-Undang Pornografi.

Polisi menangkap dua pria admin serta member grup Facebook (FB) ‘Gay Khusus Surabaya’. Keduanya yakni MFK (24) sebagai admin grup dan GR (36) member aktif.

Kapolres Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya AKBP Wahyu Hidayat mengatakan grup tersebut dibuat sejak 14 Maret 2021 dan diikuti 4.516 anggota.



ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

“Motifnya yaitu ingin mengumpulkan orang-orang yang menyukai sesama jenis,” kata Wahyu di Mapolres Pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya, Senin (16/6).

Penangkapan ini dilakukan setelah polisi mendapat laporan dari masyarakat adanya grup dengan orientasi ketertarikan sesama jenis.





“Anggota melakukan profiling dan penangkapan terhadap pelaku admin grup Facebook Gay Surabaya tersebut. Grup gay tersebut berisi tentang penyuka sesama jenis atau laki dengan laki,” ucapnya.

Wahyu menjelaskan, MFK sebagai admin grup tersebut yang berperan memberikan fasilitas dan mempermudah anggota grup mencari pasangan.

“Kemudian yang kedua yang kita amankan, saudara GR umur 36 tahun. Ini berperan aktif mengirimkan konten pornografi guna mencari pasangan sesuai dengan jenis dengan sertakan nomor telepon,” kata dia.

Sementara itu, MFK mengaku telah membuat grup itu sejak tahun 2021 dengan tujuan hanya untuk kesenangan.

“Tujuan bikin grup mencari kesenangan dan kesensasian,” ungkap MFK.

MFK mengatakan, para anggota masuk dalam grup tersebut atas kemauan sendiri. Tak jarang, anggota grup saling bertemu secara langsung. MFK juga mengaku bahwa dirinya beberapa kali memfasilitasi pertemuan anggota grup di salah satu rumah mereka dan ada yang di hotel.

Dalam pertemuan itu, MFK terkadang mendapatkan imbalan berupa rokok. Ia juga memastikan bahwa anggota grup itu hanya berisi orang dewasa.

“Pertemuannya, terkadang di rumahnya sendiri, terkadang di luar, terkadang di kamar, kamar di hotel,” pungkasnya.

Atas perbuatannya, kedua pelaku disangkakan dengan Pasal 54 ayat 1 juncto Pasal 27 ayat 1 Undang-Undang RI nomor 1 tahun 2024 tentang perubahan kedua atas Undang-Undang nomor 11 tahun 2008 dan atau pasal 29 juncto pasal 4 ayat 1 Undang-Undang nomor 44 tahun 2008.

“Untuk ancaman hukumannya pidana penjara paling lama 6 tahun, kemudian denda paling banyak Rp1 miliar dan pidana penjara paling singkat 6 bulan serta paling lama 12 tahun atau pidana denda paling sedikit Rp250 juta, dan paling banyak Rp6 miliar,” tutup Wahyu.

Kritik dari LBH: Diskriminasi

Sementara itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya mengkritik langkah kepolisian yang melakukan penangkapan terhadap sekelompok orang yang disebut sebagai gay. Mereka menilai narasi yang dibangun aparat sarat dengan diskriminasi dan berpotensi memperkuat homofobia di tengah masyarakat.

Pengacara Publik LBH Surabaya Lingga Parama menyampaikan, hingga kini pihaknya masih menunggu hasil investigasi dari komunitas minoritas gender di Surabaya terkait proses penangkapan tersebut.

“Per hari ini, Gaya Nusantara dan kawan-kawan dari minoritas gender lainnya sedang melakukan investigasi terlebih dahulu. Mulai dari siapa yang ditangkap, bagaimana proses penangkapannya, kemudian apa alasan dari pihak kepolisian itu menangkap seperti itu,” kata Lingga kepada Indonesia.com, Senin (16/6).

Lebih lanjut, pihaknya mempertanyakan alasan aparat menggunakan label ‘gay’ dalam proses penegakan hukum. Menurutnya, jika memang aparat menindak karena dugaan tindak pidana pornografi, seharusnya penindakan tidak hanya menyasar kelompok dengan orientasi seksual tertentu.

“Kalau memang dari pihak institusi kepolisian ingin memberantas tindak pidana pornografi, ya tidak seharusnya hanya mengenakan terhadap kawan-kawan yang memiliki non-binary orientasi seksual. Artinya tidak hanya mengenakan kepada teman-teman gay,” ujarnya.

Lingga mengatakan pelabelan yang dilakukan aparat, tanpa dasar yang jelas, hal itu merupakan bentuk diskriminasi dan narasi homofobia yang dibangun aparat yang berpotensi memicu kebencian terhadap komunitas gay.

“Seolah-olah aparat memperlakukan mereka (LGBTQ+) manusia yang patut untuk dipersalahkan atas orientasi seksual mereka. Padahal ya kita nggak tahu bahkan kita nggak bisa menilai apakah itu mereka memiliki orientasi seksual yang seperti apa. Itu kan hak mereka. Hak masing-masing dan itu juga harus dilindungi,” ucap Lingga.

“Kalau kita bicara soal penegakan hukum, kita harus kita harus melepaskan bahwa orang ini adalah G, orang ini adalah L, orang ini adalah apapun itu. Kalau mereka melakukan sebuah tindak pidana ya cukup kita bicara soal tindak pidana mereka,” tambahnya.

Menurut pihaknya, orientasi seksual adalah hak pribadi yang tidak seharusnya menjadi dasar perlakuan hukum yang berbeda.

Soal kemungkinan pendampingan hukum, LBH Surabaya membuka opsi untuk turun langsung mendampingi mereka yang ditetapkan sebagai tersangka, selama belum ada kuasa hukum yang ditunjuk.

“Kalau memang mereka belum didampingi oleh penasehat hukum lainnya, ada kemungkinan kita bisa turut bergabung. Kalau tidak dimungkinkan, kita bisa melakukan langkah advokasi yang lain, mungkin kampanye, atau penguatan psikologis terhadap kawan-kawan kita yang hari ini ditangkap,” kata Lingga.

Senada, aktivis hak-hak LGBT di Indonesia dan pakar isu gender sekaligus Koordinator Yayasan Gaya Nusantara Dede Oetomo mengatakan, penangkapan yang dilakukan kepolisian itu merupakan tindakan diskriminatif.

Kini Gaya Nusantara bersama kelompok masyarakat sipil lain sedang berusaha melakukan pendampingan hukum kepada mereka.

“Jangan sampai mereka diadili secara diskriminatif,” kata Dede.

(frd/dal)


[Gambas:Video ]



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *