Potensi Kerugian Ekonomi Raja Ampat Imbas Tambang Tembus Rp852 Miliar
Jakarta, Indonesia —
Konservasi Indonesia mengungkap potensi ekonomi besar yang hilang dari sektor wisata di Raja Ampat jika wilayah tersebut ditambang. Menurut perhitungan Konservasi, angkanya bisa mencapai US$52,5 juta atau sekitar Rp854 miliar.
Senior Ocean Program Advisor Konservasi Indonesia Victor Nikijuluw menyebut selain berpanduan pada Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil jo. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan atas UU 27 Tahun 2007 jo. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja dalam pengelolaan Raja Ampat, pemerintah juga dapat melihat aspek keberlanjutan dari mata pencaharian penduduk lokal di kawasan ini.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
“Pada 2017, Konservasi Indonesia bersama UNPATTI dan UNIPA melakukan studi yang menunjukkan Raja Ampat mampu menampung hingga 21.000 wisatawan per tahun tanpa merusak lingkungan. Temuan ini menegaskan bahwa pariwisata berkelanjutan adalah pilihan nyata untuk menjaga alam sekaligus mendorong ekonomi,” ujar Victor dalam sebuah keterangan, Rabu (11/6).
Victor mencontohkan jika satu wisatawan asing menghabiskan sekitar US$1.000 selama satu pekan kunjungan di Raja Ampat, maka setiap 1.000 wisatawan akan berkontribusi sekitar US$1 juta untuk ekonomi lokal.
Dengan total 21.000 wisatawan per tahun, potensi ekonomi dari pariwisata berkelanjutan bisa mencapai US$21 juta. Angka ini belum ditambahkan dengan trickle down dan multiplier effects yang bisa mencapai hingga US$31,5 juta.
“Angka tersebut belum termasuk efek dari perputaran transaksi selama kunjungan turis tersebut. Kami mengestimasikan untuk trickle-down and multiplier effects sektor wisata Raja Ampat ini bisa mencapai 31,5 juta dollar, sehingga total value wisata keseluruhan sangat mungkin untuk mencapai 52,5 juta dollar,” tutur Victor.
“Aktivitas tambang tidak hanya dapat merusak lingkungan, tapi juga bisa membuat masyarakat dan pemerintah daerah kehilangan potensi besar yang dapat menopang ekonomi lokal hingga puluhan tahun ke depan,” tambahnya.
Konservasi Indonesia juga mengestimasikan kehancuran ekonomi jika ekosistem bawah laut Raja Ampat rusak akibat spillover sisa atau sampah serta dari hilir mudik transportasi pertambangan di perairan tersebut.
Menurut Victor, fisheries externality yang merupakan dampak perikanan sangat bisa menjadi ancaman besar.
Dalam salah satu studi, KI menemukan bahwa sebaran larva dispersal atau larva ikan yang bertelur di perairan dekat pertambangan dapat terbawa ke kawasan lain, yang kemudian memengaruhi sebaran ikan di wilayah tersebut.
Victor mencontohkan, salah satunya jenis cakalang yang banyak mendiami perairan Indonesia timur. Di kawasan Raja Ampat, seperti Pulau Waigeo, telah sejak lama dikenal sebagai jalur raya jenis tuna dan cakalang di Indonesia.
“Jika kerusakan ekosistem laut di perairan Raja Ampat terjadi, maka jumlah ikan tuna dan cakalang pun akan menurun di perairan Indonesia, khususnya di Laut Banda dan Teluk Tomini. Padahal, ikan tuna dan cakalang yang melintasi Raja Ampat bermigrasi hingga ke Samudera Hindia, Samudera Pasifik,” katanya.
Artinya, lanjut Victor, efek pencemaran perairan Raja Ampat sangat dapat berdampak luas tidak hanya ke spesies di bawah laut, tetapi juga masyarakat di Gorontalo, Bitung, Ambon, hingga perairan Arafura, Maluku Tenggara.
Tak hanya itu, hal lain yang termasuk fisheries externality adalah terkait migrasi dari ikan-ikan yang disebut dengan spesies karismatik seperti jenis-jenis hiu, manta, hingga penyu. Dari sekitar 30 jenis mamalia laut yang melintasi perairan Indonesia, 15 di antaranya melalui dan mendiami perairan Raja Ampat.
Konservasi Indonesia memprediksi spesies-spesies tersebut tidak akan lagi menjadikan Raja Ampat sebagai rumah atau jalur migrasi mereka jika terjadi pencemaran.
“Spesies yang terdiri dari ikan-ikan besar seperti hiu paus, jenis-jenis hiu lainnya, hingga penyu, itu hanya datang jika ada ikan-ikan kecil. Jika sebuah kawasan perairan sudah rusak lingkungannya, planktonnya sudah tidak ada, air tercemar, dan kemudian ikan-ikan kecil itu habis, maka ikan-ikan besar pun tidak akan lagi muncul di sana,” jelas Victor.
Melihat dampak tersebut, Victor menyebut kerugian yang akan terasa bisa menjadi beratus kali lipat dengan hilangnya spesies-spesies yang selama ini melintas ataupun menghuni di kawasan tersebut.
Konservasi Indonesia juga menegaskan bahwa kekayaan hayati dan keunikan ekosistem Raja Ampat tidak dapat tergantikan oleh wilayah manapun di dunia.
Oleh karena itu, Meizani menilai keputusan pemerintah mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) empat perusahaan yang beroperasi di kawasan Raja Ampat sudah tepat.
“Kami menyambut baik keputusan pemerintah untuk mencabut IUP di kawasan Raja Ampat. Ini adalah langkah penting dalam memastikan bahwa kawasan dengan nilai ekologis setinggi Raja Ampat tetap terlindungi dari aktivitas yang berpotensi merusak,” kata Meizani.
“Keanekaragaman hayati dan keindahan alam Raja Ampat adalah aset global yang tidak bisa digantikan. Keputusan ini menunjukkan bahwa pembangunan tidak harus selalu mengorbankan lingkungan, dan bahwa perlindungan alam bisa berjalan seiring dengan visi pembangunan berkelanjutan,” imbuhnya.
(lom/dmi)