Predator Seks di Lembaga Agama, Cermin Ketimpangan Stratifikasi Sosial



Jakarta, Indonesia —

Sederet kasus kekerasan seksual di lembaga keagamaan banyak mencuat dalam beberapa waktu terakhir. Publik dibuat geram pasca terungkap kasus pemerkosaan yang dilakukan pimpinan Pondok Pesantren HW (36) di Bandung, Jawa Barat.

Perkara ini mulai tersebar ke publik setelah memasuki masa persidangan. Herry didakwa berbuat cabul terhadap belasan santri dalam kurun waktu lima tahun terakhir.

Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas pun berkomitmen akan memperbaiki prosedur pemberian izin operasional lembaga pendidikan agama dan keagamaan pasca kasus mencuat. Verifikasi dan validasi akan diketatkan sebelum menerbitkan rekomendasi.

Bahkan, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) disebutkan Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Bintang Puspayoga menaruh perhatian dalam penanganan perkara kekerasan seksual di lingkungan lembaga pendidikan agama tersebut.

Kriminolog dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol ) Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta Suprapto menilai bahwa masalah kekerasan seksual di lingkungan keagamaan itu didasari sebuah budaya yang terbiasa di tengah masyarakat.

Ia mencermati bahwa kasus-kasus kekerasan seksual di lembaga keagamaan kerap terjadi karena kesempatan berbuat di lingkungan tersebut memiliki peluang yang besar. Lembaga agama, dinilai memiliki struktur sosial yang kuat.

“Artinya bahwa orang-orang yang dianggap dihormati itu menjadi sangat sungkan ataupun tidak mudah ditolak ketika punya kemauan,” kata Suprapto saat dihubungi Indonesia.com, Kamis (16/12).

Ia menilai stratifikasi sosial lembaga keagamaan memungkinkan penganutnya yang berada di kalangan bawah menjadi merasa tak memiliki kekuatan untuk menolak sesuatu. Suprapto mengatakan hal tersebut yang kemudian memungkinkan terjadinya penyalahgunaan ataupun pelanggaran hukum karena pelaku memiliki strata yang lebih tinggi di hadapan publik luas.

“Apakah itu sekedar menyuruh-suruh, misalnya ataupun memerintah untuk melakukan pekerjaan, termasuk juga akhirnya kepada tindakan-tindakan pelecehan. Itu para anggotanya atau bawahannya menjadi tidak bisa atau mengalami apa yang disebut powerlessness,” jelasnya.

Dari perspektif kriminologi, kata dia, budaya tersebut yang kemudian menyulitkan pengusutan kasus-kasus kekerasan seksual tersebut menjadi berlarut. Terkadang, kasus sudah bergulir secara lama dan masif. Belum lagi, sambung Suprapto, bila pelaku merupakan tokoh agama tertentu maka kesulitan penanganan kasus juga terkadang akan semakin bertambah.

Ia menilai hal itu dari pandangan pengikutnya yang kerap kali menolak mempercayai bahwa sosok yang dianggap sebagai pimpinan atau tokoh di komunitasnya ternyata bermasalah hukum. Jika berkaca dari sejumlah kasus yang terungkap, banyak di antaranya dilakukan oleh pemuka agama di lingkup komunitasnya tertentu.

Kasus terbaru, mencuat di Jombang, Jawa Timur. Seorang anak kiai diduga mencabuli santriwatinya dan ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian. Namun pengusutan kasus ini sedikit berlarut. Ia tak pernah memenuhi panggilan pemeriksaan polisi meski sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak Desember 2019 lalu.

Polisi sempat melakukan upaya penjemputan paksa, namun dihalang-halangi oleh jemaat pesantren setempat. Saat ini, tersangka menggugat praperadilan proses hukum kepolisian yang dilakukan terhadap dirinya.

“Orang tidak akan mudah menyalahkan atau tidak akan mudah percaya kalau misalnya tindakan-tindakan pelecehan ataupun kekerasan itu dilakukan oleh tokoh-tokoh tersebut. Jadi tidak akan mudah, karena dia punya nama tentu. Menjadi figur publik,” kata Suprapto.

Dalam hal ini, kata dia, masyarakat perlu memahami bahwa sistem peradilan di Indonesia memiliki mekanisme tertentu yang harus dipenuhi hingga pelaku bisa mendapat ganjaran. Suprapto mengatakan, pengusutan kasus tersebut semula harus didasari dari laporan masyarakat yang mengetahui perkara tersebut. Seringkali, laporan tersebut enggan dibuat korban lantaran merasa harus menjaga martabatnya.

“Tidak terlaporkan, itu berlarut-larut karena ada budaya sungkan tadi. Jadi mereka sungkan, ingin menjaga martabat lalu diam,” tambahnya.

Selain itu, kata dia, perlu dilakukan pembinaan dan sosialisasi agar masyarakat memahami proses pembuktian dalam perkara kasus pidana. Sehingga, nantinya mereka dapat membekali diri dan memiliki bukti ketika mendapat perlakuan yang bermuara pada kekerasan seksual.

“Direkam, ajakannya direkam, kemudian penolakannya dia (korban) misalnya. Itu akan menjadi sedikit membantu barang bukti itu. tapi masih banyak yang belum memanfaatkan teknologi yang sekarang semakin canggih sebetulnya,” ujarnya.

Sebagai informasi, serangkaian kasus itu mencuat hingga menarik perhatian publik dalam beberapa hari terakhir.

Baca halaman selanjutnya.


Korban Dihantui Ketakutan


BACA HALAMAN BERIKUTNYA



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *