Ramai-ramai Kritik Putusan MK soal UU Ciptaker



Jakarta, Indonesia —

Meski mendapat apresiasi karena mengabulkan uji formil untuk pertama kali dalam sejarah, Mahkamah Konstitusi (MK) tetap mendapat kritikan terkait putusan perkara nomor: 91/PUU-XVIII/2020 mengenai uji formil Undang-undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker).

Sejumlah pihak berpendapat MK mengambil jalan tengah yang justru membuat kebingungan karena putusan dapat ditafsirkan berbeda.

Guru Besar Hukum Tata Negara, Denny Indrayana, menilai MK mencoba mengakomodasi berbagai kepentingan dan mengambil jalan tengah yang membuat putusan menjadi ambigu. Mantan Wamenkumham itu mengatakan uji formil UU Ciptaker dilakukan MK untuk menilai keabsahan prosedur pembuatan UU, bukan terkait isinya.

MK, kata dia, pada awalnya terlihat tegas dengan menyatakan bahwa UU Ciptaker bertentangan dengan UUD 1945. Namun, karena alasan obesitas regulasi dan tumpang tindih UU, MK memberi pemakluman inkonstitusionalitas bersyarat.

Dan, akhirnya MK memberi waktu 2 tahun untuk pemerintah dan DPR memperbaiki pembuatan UU Ciptaker. Jika dalam kurun waktu tersebut tidak diperbaiki, maka UU Ciptaker menjadi inkonstitusional permanen.

“Seharusnya, agar tidak ambigu, MK tegas saja membatalkan UU Ciptaker dan kalaupun ingin memberi ruang perbaikan, itu tidak dapat dijadikan alasan untuk suatu UU yang dinyatakan melanggar konstitusi untuk tetap berlaku,” ujar Denny.

Senada Denny, Pakar Hukum Tata Negara dari STIH Jentera, Bivitri Susanti, mengatakan putusan inkonstitusional bersyarat (conditionally unconstitutional) dua tahun tak lepas dari pertimbangan politik. Bivitri menilai hal itu bukan sebuah kemenangan bagi para pemohon meskipun uji formil dikabulkan.

“Bila melihat rekam jejak MK, kita juga bisa melihat bagaimana MK selalu melakukan pertimbangan politik, tidak hanya hukum. Karena itu lah, jalan keluarnya adalah conditionally unconstitutional,” kata Bivitri.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Fakultas Hukum Universitas Andalas Padang, Feri Amsari, pun menilai putusan inkonstitusional bersyarat tersebut janggal.

Ia menilai ketika MK sudah memutuskan menyatakan UU Ciptaker cacat formil, maka secara tegas seharusnya MK dapat menyatakan batal seluruhnya. Sementara, menurut dia, putusan MK tersebut seolah menjadi jalan tengah yang membuat bingung pembentuk UU dan masyarakat.

“Memang agak janggal. Biasanya bermasalah formil ya artinya batal seluruhnya. Apalagi MK tidak khawatir soal kekosongan hukum toh MK sendiri sudah menyatakan akan berlaku peraturan sebelumnya,” imbuh Feri.

Baca halaman selanjutnya tanggapan dari Walhi hingga Komnas HAM…


Dari YLBHI, 17 LBH, Walhi, hingga Komnas HAM


BACA HALAMAN BERIKUTNYA



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *