Review Film: Perang Kota



Jakarta, Indonesia

Perang Kota bukanlah film perang biasa yang didominasi propaganda atau narasi heroisme pasaran. Film ini justru menafsirkan cerita kepahlawanan dengan nafas yang lebih segar, humanis, dan intim.

Angin segar rasanya menjadi istilah yang pas untuk menggambarkan comeback Mouly Surya di layar lebar kali ini. Ia mengemas kisah para pejuang Indonesia itu dari perspektif yang jarang dieksplorasi, tetapi penting untuk dibahas.


ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Dengan mengadaptasi lepas novel Jalan Tak Ada Ujung (1952) karya Mochtar Lubis, Mouly Surya berusaha menyoroti betapa perjuangan menjaga kemerdekaan Indonesia itu bukan hanya tentang perang melawan penjajah.

Ada ‘perjuangan’ lainnya yang juga dihadapi para pejuang, dari masalah ekonomi, urusan domestik, hingga persoalan yang menjalar ke ranah privat.




Mouly menunjukkan itu sejak adegan pembuka Perang Kota, ketika Fatimah (Ariel Tatum) harus bertaruh nyawa dan mencuri untuk mendapat sekarung beras, karena harga bahan pokok yang meroket pada masa awal pasca-kemerdekaan.

Sang sutradara lalu mengeksplorasi sisi-sisi kelam lainnya melalui cerita yang berlatar di Jakarta pada 1946, seperti susah payahnya rakyat untuk bertahan hidup setelah Indonesia merdeka, bahkan bagi para pejuang yang telah mempertaruhkan nyawa.

Film Perang Kota (2025)Film Perang Kota (2025):Dengan mengadaptasi lepas novel Jalan Tak Ada Ujung (1952) karya Mochtar Lubis, Mouly Surya berusaha menyoroti betapa perjuangan menjaga kemerdekaan Indonesia itu bukan hanya tentang perang melawan penjajah. (Cinesurya Pictures)

Perspektif yang beda dibanding film perang pada umumnya itu menjadi kian kentara ketika cerita mulai menampilkan Isa (Chicco Jerikho), veteran perang yang juga menjadi guru sekolah dasar dan pemain biola andal.

Rekam jejak dan potret karakter utama yang penuh maskulinitas yang tampak dari luar ternyata menjadi begitu rapuh di baliknya. Isa menghadapi persoalan yang juga melibatkan Fatimah, istrinya, di ranah paling privat: ranjang.

Persoalan di ranjang itu berjalan beriringan dengan misi penting Isa untuk menumpas seorang petinggi kolonial Belanda. Ia berperang di lapangan untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa, tetapi perang di dalam batinnya juga terus berkecamuk tanpa ujung.

Dalam misinya, Isa ditemani rekan sesama pejuang sekaligus murid les biola bernama Hazil (Jerome Kurnia). Hazil tidak hanya menjadi kompatriot di medan perang, tetapi ‘musuh’ terdekatnya karena menjalin hubungan terlarang dengan Fatimah.

Pergumulan berlapis dari berbagai sisi itu adalah bahan bakar utama yang membawa Perang Kota melaju sepanjang 119 menit.

Kesan yang muncul sepanjang nyaris dua jam itu memang berbeda dari film perang kebanyakan, seperti adegan-adegan kolosal yang megah dan penuh gelegar. Namun, Perang Kota tetap menawan karena dieksekusi dengan gaya yang penuh estetika.

Film Perang Kota (2025)Review Film Perang Kota (2025):Kesan yang muncul sepanjang nyaris dua jam itu memang berbeda dari film perang kebanyakan, seperti adegan-adegan kolosal yang megah dan penuh gelegar. (Cinesurya Pictures)

Hal pertama yang paling menyita perhatian tentu saja keputusan Mouly Surya menampilkan film ini dengan aspek rasio 4:3. Format ini membuat nuansa klasik Perang Kota terpancar, bagaikan benar-benar datang dari masa lalu.

Pengalaman sinematik ketika menyaksikan film ini menjadi semakin lengkap karena desain produksi yang terasa mewah dalam berbagai aspek. Dunia Jakarta era 1940-an dalam Perang Kota dibangun dengan indah, baik dari visual di setiap sudut kota maupun pilihan kostum setiap karakternya.

Roy Lolang yang digaet untuk menjadi pengarah sinematografi juga kembali menunjukkan tajinya dari balik kamera. Ia meramu visual Perang Kota dengan komposisi warna dan teknik pengambilan gambar yang terlihat mahal.

Cerita yang semakin hidup berkat eksekusi visual itu pun diperlugas lagi dengan kehadiran scoring musik racikan Zeke Khaseli dan Yudhi Arfanji. Duo penata musik itu mampu menghidupkan ketegangan cerita dengan komposisi yang pas di setiap adegannya.

Pujian juga patut ditujukan kepada Chicco Jerikho, Ariel Tatum, dan Jerome Kurnia. Mereka sanggup menyuguhkan penampilan yang matang sehingga chemistry ketiganya benar-benar tersampaikan.

[Gambas:Video ]

Mereka bertiga juga tampak menyadari bahwa chemistry Isa, Fatimah, dan Hazil begitu krusial dalam perjalanan cerita di Perang Kota. Hasilnya, setiap energi, amarah, dan kegetiran yang ingin dicurahkan Mouly Surya dapat tersalurkan lewat akting para pemeran utama.

Hasil akhir yang memuaskan dari Perang Kota ini menjadi comeback manis bagi Mouly Surya yang sudah nyaris delapan tahun tidak merilis film layar lebar.

Perasaan ganjil atau kurang puas memang masih sesekali muncul sepanjang menyaksikan Perang Kota. Kadang, perasaan itu muncul ketika pacing terasa terlalu lambat, atau ada bagian cerita yang kurang dieksplorasi dan lewat begitu saja.

Kesan itu pula yang membuat Perang Kota belum cukup memadai untuk terucap ketika membahas karya terbaik Mouly Surya. Namun, secara garis besar, film ini tetap memuaskan dan sanggup bersinar di antara film-film perang Indonesia lainnya.

Perang Kota juga mampu menebus rasa kecewa saya–bahkan mungkin banyak orang–terhadap karya debut Mouly Surya di Hollywood, Trigger Warning.

[Gambas:Youtube]

(end)


[Gambas:Video ]



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *