Revisi UU, Jaksa Agung Diusulkan Harus Berlatar Belakang Jaksa
Komisi Kejaksaan (Komjak) mengusulkan agar revisi Undang-undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan mengatur bahwa seorang Jaksa Agung harus sosok yang berlatar belakang jaksa.
Ketua Komjak, Barita Simanjuntak mengusulkan agar kalimat lulus pendidikan dan pelatihan pembentukan jaksa ditambahkan dalam syarat menjadi Jaksa Agung.
“Poin masukan kami adalah berkaitan dengan Jaksa Agung. Kami sependapat bahwa Jaksa Agung itu memang harus berasal dari jaksa,” kata Barita dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta pada Rabu (17/11).
Dia menyatakan, Jaksa Agung harus mempunyai kompetensi manajerial yang telah teruji dari kalangan internal Kejaksaan, sehingga memiliki pemahaman terhadap kultur, karakteristik, organisasi, dan tata kerja serta peraturan internal di Kejaksaan.
“Dalam pergaulan internasional, Pasal 53 ayat (1) Statuta Roma menyatakan bahwa penyidik perkara pelanggaran HAM berat adalah Jaksa. Karena itu, apabila kewenangan tersebut dilakukan bukan seorang jaksa maka pengadilan berpotensi menolak kasus tersebut,” ujarnya.
Barita berkata, pihaknya juga mengusulkan agar jaksa dikecualikan dari Aparatur Sipil Negara (ASN). Dia bilang, jaksa memiliki lembaga pengawas khusus pengawasan terhadap profesi jaksa dilakukan oleh Jaksa Agung Muda Pengawasan dan Komjak.
Menurutnya, profesi jaksa tidak dapat dimasukkan dalam rumpun jabatan fungsional ASN dan pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi (JPT) di Kejaksaan berbeda dengan ketentuan di UU ASN
Selain itu, Barita menyampaikan, pencantuman asas dominus litis atau pengendali penanganan perkara pidana sangat penting dalam revisi UU Kejaksaan sebagai penyandang penguatan institusi yang merupakan suatu kebutuhan hukum dan akan menjawab dua persoalan pokok.
Dia menjabarkan, dua persoalan pokok itu ialah menghindari bolak balik dan hilang berkas perkara dalam tahap penyidikan yang akan menimbulkan tidak selesainya penanganan perkara serta penguatan Kejaksaan selaku dominus litis diharapkan dapat mengandung perubahan pendekatan yang semula mengedepankan pembalasan dan pencegahan.
Berikutnya, dia menyampaikan mengusulkan perubahan soal kewenangan Jaksa Agung beracara di Mahkamah Konstitusi (MK). Dia berkata, Jaksa Agung memiliki kedudukan sebagai Jaksa Pengacara Negara Tertinggi penjaga kewibawaan pemerintah dan negara.
“Menkumham bukan kuasa satu-satunya dari Presiden dalam pengujian UU di MK, sesuai dengan Pasal 51 ayat 2 Peraturan MK nomor 9 Tahun 2020,” katanya.
Barita juga mengusulkan soal kewenangan Kejaksaan dalam perampasan aset, karena institusi tersebut memiliki tanggung jawab dan kewenangan atas seluruh barang bukti yang disita dalam tahap penuntutan untuk kepentingan pembuktian perkara maupun kepentingan eksekusi.
Menurut dia, apabila perkara sudah ada di pengadilan maka benda tersebut dapat diamankan atau dijual lelang oleh penuntut umum atas izin hakim yang menyidangkan perkaranya dan disaksikan oleh terdakwa.
Barita pun menyampaikan, pihaknya mengusulkan hal yang Kejaksaan sebagai ‘central authority’, yaitu Kejaksaan sebagai pengendali penanganan perkara pidana.
Dia berkata, Kejaksaan harus diberikan kewenangan untuk melaksanakan tugas dan fungsi ‘central authority’ seperti ekstradisi dan bantuan hukum timbal balik dalam masalah pidana.
Terakhir, dia mengusulkan soal pengamanan terhadap jaksa dan keluarganya. Menurutnya, negara harus mengambil semua tindakan yang diperlukan untuk memastikan bahwa penuntut umum beserta keluarganya dilindungi negara.
(mts/ain)