Runtai – Karena Dia Mira Lesmana




Mira Lesmana ingat betul bagaimana ia bersama sahabatnya, Riri Riza, membangun Miles Film pada 1995 tanpa modal di tengah perfilman Indonesia yang mati suri – ketika kebanyakan film menjual bodi bahenol belaka.

.


Beberapa kursi ia pinjam dari mendiang Didi Petet, sementara mesin faks dari seorang teman. Rumah di Cipete untuk kantor Miles Film pun bukan miliknya sendiri. Mira Lesmana sadar ia begitu nekat mendirikan rumah produksi.


“Modal dengkul! Asli, dengkul!” kata Mira dengan suara yang sedikit serak saking semangatnya berbincang.


“Kalau ditanya kenapa, boleh dibilang saya tak punya pilihan! Karena sudah sekolah, sudah menekuni bidang itu. Walaupun (perfilman) sedang mati suri, yang ada di kepala saya, ‘well, we have to open the door’.”


Kondisi kantong kering memaksa Mira mengambil segala peluang. Sekecil apapun, ia lahap untuk mengumpulkan ‘recehan’, mulai dari dokumenter, video musik, dan iklan. Kemudian semesta membantunya dengan memberikan serial dokudrama Anak Seribu Pulau (1996).


Serial yang ditayangkan di televisi itu membuka dua hal untuk Mira: kesadaran akan kekayaan talenta sineas di Indonesia –berkat tim produksi di tiap episode yang berbeda-beda—dan modal untuk membuat film panjang.


Mira lalu menirukan suara pikirannya kala itu dengan suara bergumam, “kayaknya bisa nih kita bikin film”.


Bermodal nekat dan sedikit uang hasil Anak Seribu Pulau, ia membuat Kuldesak (1998). Penghasilan dari film itu tak Mira nikmati sendiri. Ia memberikannya kepada sineas muda untuk membuat film pendek hingga membentuk yayasan.


Adrenalin Mira Lesmana masih ada meski duit kembali menipis. Setelah kembali ‘serabutan’, ia bertemu dengan investor yang sama “nekat” dengan dirinya. Rezeki itu ia manfaatkan dengan mewujudkan mimpi sejak kecil untuk menjadi detektif melalui Petualangan Sherina (2000).


Bisa dikatakan, Petualangan Sherina adalah film berbujet besar pertamanya. Sekitar Rp2 miliar ia kantongi untuk membuat film berkategori komedi musikal itu – yang tergolong sangat minim di Indonesia. Bila dihitung kasar, bujet itu setara dengan Rp7,5 miliar saat ini.


“Gila sih, di awal kalau enggak optimis enggak mungkin berani bikin,” kata Mira termenung sesaat.


“Bahkan jaringan XXI pada waktu itu bilang, ‘Kamu yakin? Nanti itu bisa enggak balik lho modalnya’. Tapi saya yakin modalnya balik itu kalau dapat 250 ribu penonton. Ternyata, melebihi ekspektasi sampai beberapa kali lipat.”


Petualangan Sherina menjadi booster, bukan cuma untuk industri film nasional, tapi juga untuk internal Miles Film. Cuan dari Petualangan Sherina mendorong mereka membuat beragam film, misal Ada Apa dengan Cinta? (2002), Gie (2005), sampai 3 Hari untuk Selamanya (2007).


Tapi tak semua film Mira sukses. Mira mengakui hingga saat ini hanya tujuh dari 17 film yang sudah diproduksi mendapat cuan. Gie (2005) disebut Mira sebagai filmnya yang paling berani; berbajet Rp9 miliar, produksi yang sulit dan penuh risiko, hingga konten yang sensitif.


“Itu diproduksi di masa yang sangat sulit, di masa orang belum percaya. Itu film yang besar nilainya dan itu juga film yang ada unsur kontroversi. Film itu juga yang untuk kali pertama merepresentasikan kelompok minoritas sebagai aktivis dan orang yang idealis,” kata Mira soal biopik So Hok Gie itu.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *