Saya Egois terhadap Keluarga Selama Ini


Jonatan Christie memutuskan keluar dari Pelatnas Cipayung. Berikut wawancara eksklusif Indonesia.com dengan Jonatan terkait hal tersebut.

Pengumuman resmi Jonatan keluar dari Pelatnas disampaikan pada Kamis (15/5). Keputusan Jonatan untuk keluar Pelatnas Cipayung merupakan kabar yang terbilang besar bagi dunia badminton. Jonatan sudah menghabiskan waktu 12 tahun menempa diri di Pelatnas Cipayung.

Jonatan masuk sebagai pemuda berusia 15 tahun dan meninggalkan Pelatnas Cipayung sebagai salah satu pemain papan atas dunia saat ini.

Bagaimana pandangan dan latar belakang Jonatan hingga mengambil keputusan tersebut? Berikut wawancara eksklusif Indonesia.com:

Sebenarnya saya sudah latihan 2-3 hari. Latihan sudah mulai berjalan dan so far oke. Paling masih adaptasi, adaptasi dengan lingkungan baru.

Tetap pagi-sore. Tetapi menyesuaikan waktu saja. Kadang mungkin bisa lebih pagi, kadang juga mungkin agak siangan. Jadi lebih fleksibel dalam soal waktu.

Kalau di Pelatnas Cipayung kan latihan pagi itu 07.30 terus selesai 10.30. Lalu sore mulai 14.30 sampai 17.00.

Kalau dari durasi waktu latihan kurang lebih sama, cuma bedanya selain di waktu, programnya lebih spesifik ke diri sendiri. Ibaratnya menu latihannya dimakan sendiri.

Kalau di Pelatnas kan mungkin karena bareng beberapa atlet lain, katakan misal 3 jam latihan, tetapi tidak pure 3 jam itu menu latihan dimakan sendiri. Ada momen kita bantu latihan yang lain karena sistemnya saling bantu.

Kalau jarak dari rumah di Kelapa Gading ke Pelatnas Cipayung dibanding Kelapa Gading ke GOR Tangkas sebenarnya mirip-mirip. Cuma yang nggak bisa dikontrol itu fleksibilitas jam latihan. Jadi kalau di Pelatnas tentu harus menyesuaikan jadwal yang ada di sana.

Kemarin juga sempat 1-2 hari dari Kelapa Gading terus hari ketiganya tinggal di Palmerah.

Jadi memang yang jadi pertimbangannya itu agar bisa lebih fleksibel latihan. Misal pagi bisa juga latihan di Kelapa Gading, siang baru ke Tangkas.

Sementara iya sama Vicky karena dari pas kemarin di Pelatnas kan juga di bantu-bantu juga buat sparring.

Kalau untuk pelatih sendiri, balik lagi seperti yang sempat saya bilang. Basic-nya, saya, Vicky, Koh Hendry Saputra, Bang Aboy [Irwansyah] itu kan memang dari dulu itu ibaratnya satu perguruan lah kalau kita ngomong. Satu perguruan, jadi metode latiannya sama terus program-programnya juga kurang lebih mirip-mirip.

Di Tangkas juga ada Koh Christian yang dulu merupakan asistennya Koh Hendry. Jadi bisa diskusi sama mereka.

Kalau untuk ke Singapore Open nanti didampingi sama Vicky.

Masih terbuka sih akan hal-hal tersebut. Karena ini kan juga baru start jalan. Jadi masih uji coba sambil memang dilihat nanti next-nya mau seperti apa.

Kamu kemarin sempat bilang ingin berhenti dari badminton habis Olimpiade. Apa yang terjadi sampai kamu berpikiran seperti itu?

Waktu itu saya merasa waktu bersama keluarga benar-benar terkuras. Karena bukan saya saja yang berkorban waktu itu, terapi istri saya yang sedang hamil juga berkorban. Saya harus tinggalkan rumah pada saat persiapan Olimpiade karena saya enggak pulang ke rumah setiap hari saat itu.

Ditambah lagi persiapan yang sudah saya kasih itu 100-200 persen lah. Semuanya sudah dilakukan, untuk goal dan fokusnya di Olimpiade.

Saya menikah Desember 2023 dan Puji Tuhan langsung dikaruniai anak. Sebagai keluarga baru, memang ada saling adaptasi. Istri sedang hamil ada pergumulannya sendiri. Saya juga ada pergumulannya sendiri.

Ibaratnya, istri sudah full support 100 persen, padahal di saat itu dia juga sebenarnya lagi butuh support segala macem dari saya.

Nah itu,ketika pas selesai Olimpiade kalah, saya merasa: “Wah gila, gue sudah ngorbanin, ibaratnya ngorbanin keluarga. Sudah ngorbanin semuanya, sudah ngelakuin ini itu, tetapi hasilnya gak sesuai.”

Dalam pemikiran saya setelah kalah, saya berpikir, dalam tanda kutip, saya sudah tinggalkan keluarga untuk sementara saya fokus di Olimpiade. Tapi hasilnya seperti ini.

Pertanyaan itu yang terus timbul. Sampai akhirnya saya berpikir: “Masa keluarga gua, gua tinggalin untuk bulu tangkis. Sedangkan Olimpiade sudah berakhir. Dan untuk Olimpiade selanjutnya mungkin gak akan gampang.”

Itu pemikiran saya waktu pas kalah itu.

Jadi hal itu membuat saya berpikir: “Ya sudah stop saja ya, berhenti saja ya, sudah cukup ya.”

Saya ingat banget waktu itu ngomong ke Bang Aboy,“Bang, saya kayaknya sudah mau stop deh. Sudah gak mau main bulutangkis lagi.”

Karena pikiran saya ya sudah, mau apa lagi. Olimpiade ini mungkin kesempatan yang orang bilang golden age-nya sudah ada di sana. Tapi hasilnya apa? Gak ada juga. Saya sudah korbankan semuanya, segala macam.

Akhirnya apa yang saya dapat? Keluarga, istri saya, saya tinggalkan sementara waktu itu. Terus juga sudah fokus untuk bulu tangkis, tetapi hasilnya seperti itu.

Itulah yang membuat timbul pemikiran untuk pensiun seperti itu.

Sebenarnya waktu kamu kalah dari Lakhsya Sen, apa yang terjadi? Apa kamu merasa terbebani?

Banyak pengalaman yang saya rasakan sebelum Olimpiade, terutama waktu pas Asian Games di China. Dari Asian Games itu, saya hire psikolog pribadi dengan tujuan Olimpiade ke depannya. Jadi, apa yang terjadi di Asian Games, enggak boleh terulang di Olimpiade.

Saya sempat ngobrol sama psikolog, bercerita bahwa saya punya tujuan di beberapa turnamen yang terdepan, sebelum Olimpiade.

Jadi waktu itu turnamen sudah dikelompokkan. Ada All England, terus Thomas Cup. Jadi memang lebih bicara soal non teknis sama psikolog. karena tiap turnamen, pressure-nya pasti berbeda.

Itu yang saya ingin jadikan batu loncatan buat persiapan menuju Olimpiade.

Habis tiga pertandingan enggak pernah kalah di All England, BAC, dan Thomas Cup, kan tinggal dua pertandingan tersisa sebelum Olimpiade. Di Singapura dan Indonesia.

Dan itu kansnya besar sekali untuk saya dapatkan ranking dua. Dari situ menurut saya penting banget. Saya diskusi sama psikolog pribadi bahwa saya ingin ada di seeded dua.

Karena saya berharap mendapat seeded lebih tinggi otomatis akan mendapat grup atau musuh-musuh yang tidak langsung berat.

Singkat cerita, di Singapura kalah, di Indonesia juga kalah. Dari situ, saya merasa bahwa terlalu menggebu-gebu juga enggak bagus. Itu hasil evaluasi saya dengan psikolog.

Kemudian masuk ke drawing. Dalam drawing, saya seeded ketiga. Di situ tiba-tiba yang lain, seeded satu, dua, dan empat nggak main di 16 besar. Mereka dapat bye di babak 16 besar.

Selain itu seeded satu dan seeded empat ada di grup yang hanya berisi tiga orang. Sedangkan saya, 16 besar harus main. Kemudian, satu grup berisi empat orang.

Isi empat orang ini juga tidak mudah. Jadi kayak wow, cukup perjuangan gitu rasanya. Tetapi ya sudahlah, saya tahu itu berat. Nggak ada pertandingan Olimpiade yang nggak berat, ya sudah.

Kemudian persiapan, semua persiapan cukup baik, berjalan dengan lancar. Dalam training camp juga saya fokus luar biasa. Saya sudah singkirkan terlebih dulu kondisi istri yang sedang hamil. Semua, segala macam fokus saya total di Olimpiade. Sampai akhirnya mainlah di Olimpiade.

Ternyata main dengan momen yang berbeda. Di Tokyo, kosong, sepi. Karena covid gak ada penonton. Tiba-tiba saya datang ke Olimpiade Paris dengan ranking dan seeded tiga. Terus penontonnya full, cukup kaget waktu itu.

Babak pertama langsung ramai. Lampunya juga jelas, enggak digelapin di bagian penonton. Jadi penonton yang paling atas pun kelihatan.

Jadi terlihat penonton-penonton, orang-orang NOC, segala macam.

Laga pertama, rubber. Nggak mudah juga. Akhirnya ada diskusi lagi dengan psikolog, dengan bang Aboy juga. Kenapa bisa rubber, segala macam.

Kemudian, waktu itu Kevin Cordon mundur. Akhirnya bertemu Lakshya Sen di laga terakhir. Lakshya Sen sebenarnya untuk dibilang pressure, ya pasti Olimpiade ingin menampilkan yang terbaik. Apalagi saya sudah korbankan keluarga.

Saya sudah maksimal dari yang saya bisa lakukan, seperti hire psikolog pribadi sendiri. Semua sudah saya coba. Saya nggak pulang ke rumah.

Dengan itu, pastilah ada keinginan untuk mendapatkan yang terbaik ketika sudah melakukan hal maksimal yang bisa dilakukan.

Kemudian saat main, dari teknisnya, memang ada kondisi menang dan kalah angin. Ada kondisi di mana lapangannya oke. Kondisi pertama itu sebenarnya saya sudah leading jauh.

Sudah leading jauh sudah, terus tiba-tiba pelan-pelan akhirnya kalah. Itu padahal gim pertama sebenarnya adalah momen penting untuk di pertandingan besar.

Apalagi kondisi lapangan gim pertama itu adalah lapangan yang menguntungkan untuk saya karena dalam kondisi kalah angin. Setelah kalah di gim pertama, saya tetap coba untuk gim kedua. Saya coba, coba, coba, coba, tapi entah kenapa kayak situasi nggak ada yang berpihak saja. Sudah coba segala cara yang saya punya. Pada saat tu saya lakukan semua segala macam sampai akhirnya kalah.

Apa yang terjadi setelah kekalahan itu? Apakah kamu langsung telepon istri?

Sebenarnya malah saya enggak ngomong sama keluarga dulu. Detik itu juga pas habis kalah dan langsung ke backstage, ke lapangan warming up, saya langsung ngomong ke Bang Aboy saat itu juga.

Saya bilang:

“Saya nggak bisa Bang. Saya sudah benar-benar, semua sudah saya persiapkan. Pas main itu semua benar-benar sudah saya lakukan, tetapi kok kayak nggak bisa tembus. Nggak bisa.”

“Karena saya sudah melakukan maksimal Bang. Tetapi kok jalannya nggak ke sana, nggak lurus. Apalagi kita sudah melakukan yang terbaik, dari apa yang kita bisa lakukan segala macam. Kayaknya habis ini saya mau stop aja.”

Jadi kayak ada peperangan batin. Itu pertama kali saya ingat. Habis itu Bang Aboy juga nggak banyak bicara. Bang Aboy bilang tenangkan pikiran dulu sambil pendinginan dulu.

Habis itu dari situ benar-benar total, diam terus. Pikirannya kosong. Yang tadi seperti saya bilang, Olimpiade empat tahun sekali, semua sudah dilakukan buat ini, dan hasilnya begitu. Jadi bengong, nggak tahu mau ngapain.

Sampai akhirnya malam baru telepon istri. Kasih kabar segala macam. Saya sempat ngomong juga, kayaknya sudah deh, sudah pengin setop saja.

Berhenti, sudah capek. Kan pengin dapat medali Olimpiade kan, tetapi nggak pernah dapat, jadi ya sudah, pengin stop saja.

Saya juga sudah bilang ke Papa Mama.

Kamu pulang ke Jakarta dalam kondisi kecewa tetapi di satu sisi istri kamu sudah mendekati hari perkiraan kelahiran. Bagaimana kamu menjalani situasi itu?

Nah itu nggak tahu ya, saya malah masih berpikiran pada saat itu tetap mau berangkat ke Jepang untuk ikut Japan Open.

Jadi, nah ini balik lagi, makanya saya nggak tahu, apakah hidup saya sudah terlalu 80 persen atau 90 persen untuk bulu tangkis karena nggak bisa dipungkiri dari dulu papa ngedidik cukup disiplin, begitu juga Koh Hendry Saputra. Bahwa semuanya ya tentang badminton, semuanya itu bulu tangkis.

Kadang pelan-pelan, ketika sudah menikah saya belajar, belajar tentang menghargai waktu sama keluarga. Bukan cuma sama istri tetapi sama Mama terutama. Karena kalau sama Papa dari saya di Tangkas itu, saat saya tinggal di rumah Nenek, saya tinggal sama Papa. Sedangkan Mama tinggalnya terpisah.

Jadi waktu saya bersama Mama itu sebenarnya jarang banget. Terakhir saya bisa terus ketemu setiap hari sama Mama itu waktu umur saya sembilan tahun. Setelah itu masuk Tangkas, ketemunya cuma setiap Sabtu-Minggu, sampai sekarang.

Jadi ada beberapa pertimbangan saya, beberapa poin-poin seperti yang saya bilang, hingga akhirnya kayak ya sudah stop saja. Kayak: “Gua udah cukup deh, biar waktu gua tuh buat keluarga aja.”

Sampai akhirnya pulang, ngobrol-ngobrol sama istri, balik tuh tetap balik latihan. Karena kan enggak bisa memutuskan langsung. Di Jakarta juga ngobrol sama orang tua, ngobrol sama psikolog pribadi, ngobrol sama Bang Aboy.

Kalau nggak salah, ke Jepang itu enggak selang lama dari Olimpiade, jadi cuma sekitar tiga minggu.

Karena belum ada keputusan saat itu jadi kayak ya sudah jalani saja dulu deh. Lihat nanti saja deh. Masih kayak gitu.

Paris 2024 Olympics - Badminton - Men's Singles Group play stage - Porte de La Chapelle Arena, Paris, France - July 31, 2024. Jonatan Christie of Indonesia in action during the Group L match against Lakshya Sen of India. REUTERS/Hamad I MohammedWalau kalah di Olimpiade dan berpikir untuk pensiun, Jonatan secara otomatis masih memikirkan untuk tampil di Japan Open. (REUTERS/Hamad I Mohammed)

Jadi walaupun kamu udah kepikiran mau pensiun dan istri mau lahiran, kamu malah masih berpikir untuk berangkat ke Jepang?

Oh iya, ya maksudnya karena kan enggak bisa total langsung bilang: “Ya sudah, gua stop”.

Berhenti total. Enggak bisa sepihak saja gitu. Dari istri bilang coba pikirkan dulu, dari keluarga pun juga sama. Pokoknya semua intinya tidak mengiyakan saya untuk setop, tidak mengiyakan secara gamblang bahwa: “kamu setop saja 100 persen”.

Saya kemudian berpikir ya sudah lihat nanti, coba sampai akhir tahun gimana. Kalau memang masih oke, ya sudah lanjut aja main. Kalau memang sudah benar-benar enggak bisa, ya sudah sampai akhir tahu terus setop aja. Itu masih belum ada pertimbangan untuk main profesional.

Bahkan seperti yang tadi saya bilang, karena saya dididik dari Papa sama Koh Hendry dulu sangat disiplin dan bulu tangkis itu 90 persen hidup, itu saya sudah jadwalkan kelahiran anak. Anak saya kan lahirannya sesar, jadi bisa diatur waktunya kan. Nah saya tuh sempat mikir, “Oh ya sudah nanti lahirannya pas habis aku pulang saja habis dari Jepang. 2-3 hari habis pulang.”

Nah ini agak sableng juga memang Jonatan ini. Sudah kayak gitu saja masih berpikir tetap bulu tangkis kan.

Jujur saya enggak sadar, enggak sadar sampai saya tersadar satu malam sebelum besoknya saya berangkat ke Jepang. Istri saya nangis. Dia minta tolong jangan berangkat. Tolong, dia minta tolong jangan berangkat karena kurang lebih tinggal semingguan lagi waktu melahirkan.

Dia minta ditemani semua segala macam. Ya mungkin dia juga merasa bahwa beberapa bulan belakangan kan dia sudah mengalah untuk saya agar fokus di Olimpiade. Sampai akhirnya malam itu dia nangis.

Saya lagi tidur, dia menangis. Jam berapa ya? Sekitar Subuh kalau enggak salah. Ya sudah saya putuskan saya enggak berangkat.

Paginya, seharusnya berangkat ke Jepang itu Sabtu malam. Sabtu paginya, saya langsung ke Pelatnas. Saya bilang ke Bang Aboy,“Bang, izin saya enggak bisa berangkat.”

Untungnya Bang Aboy waktu itu mengerti, paham kondisi saya. Akhirnya saya enggak berangkat ke Jepang.

Dari situ, pelan-pelan saya mulai kepikiran. Kalau kayak gini terus, saya juga enggak bisa. Enggak bisa punya waktu sama keluarga saya.

Sebenarnya yang saya pengin itu simpel. Jonatan yang tadinya hidupnya 90 persen untuk bulu tangkis dan 10 persen itu dibagi-bagi ke keluarga dan dirinya sendiri, kali ini saya pengin bulu tangkis tetap jadi prioritas utama, tapi persentasenya itu berkurang. Mungkin 60 persen atau bahkan 50 persen.

Karena saya mikir, bertambahnya usia itu saya mikir: “Bulu tangkis tuh main berapa lama lagi sih Jo?”

Katakanlah kalau masih punya api, punya semangat, punya motivasi, punya tujuan. Kita ambil paling pendek, empat tahun deh sampai Olimpiade berikutnya. Tapi setelah Olimpiade, next-nya apa?

Pada ujungnya, semuanya juga dilupakan.

Bulu tangkis, misal legenda bulu tangkis dan eksis terus sampai sekarang yang semua orang kenal. Mungkin ada beberapa tetapi nggak semua.

Katakanlah Koh Rudy Hartono. Oke, legenda. Kita sekarang tahu Koh Rudy sebagai legenda bulu tangkis Indonesia. Tapi kehidupan dia sama keluarganya, itu yang lebih penting.

Nah itu tuh yang membuat pertimbangan. Jadi punya pemikiran kayak: “Gua butuh waktu, gua butuh hal yang fleksibel. Yang bisa gua bagi. Bukan hanya untuk diri sendiri dan keluarga, tetapi juga sampa keluarga.”

Apalagi pas sudah ada Jayden. Pas kemarin ketemunya cuma pagi, 10 menit sebentar sebelum berangkat. Pulang cuma sejam, habis itu tidak. Terus nggak berasa, tiba-tiba sudah sembilan bulan.

Langsung kayak:“Hah? Sudah sembilan bulan ya? Sudah tiba-tiba bisa ini, bisa itu. Kok gua enggak tahu ya?”

Berangkat pertandingan dua minggu, tiba-tiba sudah bisa ini-itu. Jadi merasa waktu itu berharga banget. Nggak bisa ngelihat dia bertumbuh saja tuh kayaknya gimana gitu.

Itu saya merasa kayak:

“Gila gua egois banget ya selama ini. Bulu tangkis memang yang membuat Jonatan seperti ini. Tetapi keluarga lu juga butuh lu. Anak lu apalagi, semua segala macam, istri, orang tua.”

“Lu sudah berapa lama sih ngabisin waktu sama orang tua gitu dari lu kecil ketika lu udah mutusin jadi pemain bulu tangkis yang latihan pagi sore?”

“Berapa lama dan berapa lama lagi umur mereka? Kita enggak pernah tahu kalau soal umur.”

Nah itu tuh yang membuat, jujur membuat pribadi saya jadi mikir. Di satu sisi Jonatan hidup dari bulu tangkis. Karena ada prize money, ada kontrak. Karena memang kebisaannya Jonatan di situ.

Tetapi di satu sisi, ada sosok keluarga, anak, istri, orang tua. Yang kalau waktu saya habiskan untuk bulu tangkis, apa tunggu mereka nggak ada dulu, baru menyesal gitu?

Nah itu tuh yang membuat pikiran-pikiran merasa kayak aduh gila gua egois banget ya. Karena berasa wkatu pas Kokoh meninggal waktu Covid. Jadi ya sudah, kayak berasa, sudah hilang saja gitu. Belum sempat ngapa-ngapain, belum sempat ambil banyak waktu bersama mereka.

Jadinya ya momen itulah timbul dari pikiran,“Apa yang bisa buat lebih fleksibel? Apa yang bisa buat semuanya berjalan beriringan?” Jadi akhirnya memutuskan untuk main profesional.

Pebulu tangkis tunggal putra Indonesia Jonatan Christie mengembalikan kok ke arah tunggal putra Taiwan Lin Chun-Yi pada babak 16 besar Daihatsu Indonesia Masters 2025 di Istora Senayan, Jakarta, Kamis (23/1/2025). Jonatan Christie berhasil lolos ke perempat final usai menang dengan skor 21-9, 10-21, dan 21-15. ANTARA FOTO/Fauzan/tom.Jonatan Christie merasakan tanggung jawab lebih besar seiring statusnya saat ini sebagai suami dan ayah. (ANTARA FOTO/FAUZAN)

Saat pertama kali menggendong Jayden dan sadar bahwa kamu sudah jadi Ayah, apa yang terlintas di pikiran kamu?

Pertama kali melihat dia, itu kayak orang kalau punya barang enggak boleh nih barangnya sampai kotor. Enggak boleh barang ini sampai kurang ini kurang itu. Kayak protektif banget. Kayak kalau bisa ini tuh jangan sampai kenapa-kenapa gitu.

Nah tapi ada satu perasaan lagi kayak, saya tuh sekarang sudah enggak kayak dulu, sudah ada tanggung jawab lebih. Bukan cuma orang tua, tetapi ada istri. sekarang ada anak juga. Tetapi justru danya dia malah lebih buat hidup yang tadinya mungkin flat, isinya cuma bulu tangkiiiiis terus. Pokoknya bulu tangkiiiss terus. Adanya dia itu jadi kayak ada satu warna baru.

Kayak hidup tuh bukan cuma buat karier doang. Punya anak ternyata bisa buat semangat juga, bisa tambah motivasi juga.

Ke belakang sebentar soal rencana menikah. Apa yang jadi pertimbangan kamu menikah di tahun sebelum Olimpiade?

Waktu itu memang sudah komitmen sama istri. Kami menikah, tetapi ya sudah fokusnya untuk Olimpiade dulu. Jadi pada saat itu memang sudah didiskusikan.

Keputusan untuk menikah memang sudah dari awal sudah disepakati bersama. Memang lebih ingin karena ada semangat baru, motivasi baru, suasana baru jadi akhirnya memutuskan menikah.

Karena sibuk persiapan Olimpiade, berarti kamu jadi gak mengalami momen menuruti permintaan ngidam istri?

Untungnya istri saya pengertian jadi jarang banget ngidam. Maksudnya saya cukup dibantu dengan kondisi istri saya yang enggak pengin minta dibeliin ini-itu. Kalau pengin apa-apa beli sendiri, jadi cukup terbantu.

Baca lanjutan berita ini di halaman berikut >>>

Kembali ke soal main profesional, kapan keputusan untuk main profesional?

Ya itu habis Japan Open. Saya berpikir jadi ya sudah akhir tahun mau izin, sudah mau cabut, jadi ya sudah nikmati momen akhir-akhir ini di Pelatnas Cipayung. Jadi mainnya lebih enjoy, lepas saja semua segala macam.

Pas akhir tahun kamu pertama kali bicara sama siapa soal keluar Pelatnas Cipayung?

Pertama sama Bang Aboy. Waktu itu Bang Aboy masih di dalam Pelatnas Cipayung. Bang Aboy bilang coba dipikir dulu karena di luar enggak gampang. Jadi Professional Player itu juga enggak mudah. Coba kamu hitung-hitung dulu, semua segala macam. Kalau memang semua segala macam kamu rasa sudah oke, dan segala macamnya bagus, ya sudah. Enggak ada masalah. Dia bilang ‘go ahead‘ [silakan] saja.

Kalau untuk pengurus, siapa yang awal dikasih tahu?

Nah waktu itu kan masih masa transisi kan, jujur saya bingung ngomong ke siapa. Jadi pertama yang saya kasih tahu adalah Kak Rionny yang jadi Binpres. Saya ngomong sama dia dulu pertama. Akhirnya Kak Rionny bilang bakal disampaikan ke atasan.

Yang masih di dalam itu masih ada Pak Armand [Darmadji]. Saya ngomong sama dia segala macam.

Habis itu saya ngomong sama Aa Taufik [Hidayat]. Seperti yang dibilang sebelumnya, Aa Taufik bilang coba dipikirkan karena di luar enggak gampang. Aa Taufik kan juga sudah pernah main profesional kan jadi dia tahu bahwa bahwa main di luar pelatnas itu enggak gampang.

Terus berproses dari akhir November hingga Desember sampai akhirnya waktu itu Pak Fadil [Imran] baru mau menjabat kan. Terus Pak Fadil bilang, “Boleh enggak kalau stay sementara dulu di Pelatnas, untuk beberapa waktu, setidaknya sampai Sudirman Cup.”

Akhirnya saya ngobrol sama keluarga bahwa diminta sampai Sudirman Cup. Akhirnya ya sudah enggak apa-apa, saya oke, mereka oke, akhirnya jadi ya sudah.

Berarti bisa dibilang keputusan kamu keluar Pelatnas Cipayung ini enggak ada pengaruhnya sama pergantian pelatih tunggal putra?

Oh, enggak ada. Orang luar kan melihatnya saya dekat dengan Bang Aboy tadi pasti akan ada yang berspekulasi seperti itulah. Berspekulasi bahwa Jonatan mau keluar nih gara-gara Bang Aboy gak dipakai lagi. Pasti ada lah kayak gitu karena saya dan Bang Aboy kan dekat sekali.

Tetapi enggak ada. Enggak ada saya keluar karena Bang Aboy keluar, enggak ada. Enggak ada seperti itu. Seperti yang saya bilang, persoalan pribadi saja.

Jonatan Christie dan Irwansyah saat Indonesia vs Thailand di Thomas Cup 2024.Keputusan Jonatan Christie keluar Pelatnas Cipayung tidak berhubungan dengan kontrak Irwansyah yang tidak diperpanjang.  (Dok. PBSI)

Karena sudah diminta bertahan hingga Piala Sudirman, berarti kamu mulai menyiapkan diri untuk berkarier di luar Pelatnas?

Iya pasti, jadi biar enggak kaget gitu. Jadi saya nanya-nanya ke orang-orang di Pelatnas yang tugasnya memang bagian keuangan, bagian pesan tiket. Dari awal tahun memang sudah mulai tanya-tanya biar gak bingung pas mulai.

Jadi kalau menurut tim kamu, berapa kira-kira perhitungan setahun untuk kebutuhan turnamen?

Yang pasti kalau untuk bawa tim, tim yang memang profesional, bukan cuma saya sendiri, ya itu bisa di atas 1,5 miliar.

Memang rencana dalam tiap keberangkatan kamu berangkat berapa orang dalam tim?

Yang pasti, buat sekarang itu sama fisioterapis yang paling penting. Karena kan terakhir saya juga ada handicap di kaki sama pinggang. Jadi itu paling penting.

Karena memang main kan pasti capek, butuh recovery semua segala macam. Jadi fisioterapis sama pendamping dulu sih.

Jadi minimal bertiga sama kamu ya?

Iya.

Bagaimana untuk pemantauan kebutuhan nutrisi saat ini?

Ada dokter gizi. Tetapi kan dokter gizi kan tidak setiap hari jadi kayak diskusi kebutuhan pengeluaran kalori atau pelatihan saya tuh per hari rata-rata sekian.

Sama dokternya kemudian dikasih tahu butuh nutrisi segini, lauknya ini, sayurnya ini, nasinya sekian.

Karena memang basic-nya pas masih di Pelatnas kan juga sudah ada dokter gizi juga kan jadi memang sudah ngobrol.

Seiring mulai berjalan karier kamu sebagai pemain profesional. kamu melihat karier badminton kamu bakal sepanjang apa?

Untuk keinginan pribadi, dengan hal yang sudah dilewati, sudah dijalani semuanya, masih ada di hati tuh kayak pengin coba sekali lagi Olimpiade. Cuma balik lagi dengan kondisi sekarang kayak ada cedera di pinggang segala macam, jalani satu-satu dulu.

Jalani satu-satu dulu, kalau syukur-syukur bisa sampai 2028 dan masih bisa bersaing, ya pasti pengin tampil di Olimpiade.

Kamu juga belum punya medali Kejuaraan Dunia?

Nah itu yang jadi fokus awal sekarang dibanding Olimpiade. Jadi kan memang Kejuaraan Dunia digelar setahun sekali, jadi malah saat ini fokusnya lebih ke sana dulu. Targetnya ke World Championships dulu.

Selama ini apa yang kamu rasakan saat tampil di Kejuaraan Dunia, kenapa belum bisa dapat medali?

Belum jodoh kali hahaha. Ga tahu juga, sudah latihan segala macam. Sudah delapan besar mau menang, malah kagak jadi saat lawan Chou Tien Chen. Bingung juga memang.

Terus kemarin, saat seeded-nya lagi enak, babak pertama harus langsung Lee Zii Jia. Jadi ya coba semaksimal mungkin.

Kamu termasuk terkenal sebelum masuk ke Pelatnas Cipayung. Apakah kamu merasa terbebani dari dulu sehingga kalau sekarang keluar Pelatnas bebannya jadi berkurang?

Dari kecil sebenarnya malah nggak kepikiran kalau saya sudah terkenal. Dari kecil fokusnya itu cuma mengejar yang senior-senior di atas saat sudah masuk Pelatnas. Saya enggak fokus ke hal-hal bahwa orang sudah tahu saya segala macam.

Bahkan pas Aa Taufik pensiun, kan saya yang dikasih raket. Nah itu saya enggak menduga juga. Enggak tahu siapa yang nyuruh, atau siapa yang memberikan rekomendasi. Padahal masih banyak yang lain.

Atau mungkin saya ditunjuk karena waktu itu saya yang paling kecil jadi mungkin ya sudah yang ditunjuk yang paling kecil. Mungkin ya, tetapi saya enggak tahu tuh siapa yang menunjuk sampai sekarang.

Papa kamu termasuk keras sama kamu?

Papa itu lengket banget dulu sama Koh Hendry benar-benar latihan saya tuh ditungguin, dilihatin. Pokoknya dari pertama masuk Tangkas sampai masuk ke Pelatnas. Papa itu tuh setiap hari selalu menemani.

Jadi dari situ pengorbanan keluarga juga, kalau menyambung dengan alasan saya tadi, dari Papa juga mengorbankan kerjaannya, fokus benar-benar ke saya. Cuma mengharapkan dari Om, adik-adiknya buat bantu kayak kasih makan saya, segala macam. Makanya saya tuh banyak hutang budi sama keluarga juga.

Pebulutangkis Tunggal Putra Jonatan Christie saat berlatih di Pelatnas Cipayung, Jakarta, Jumat, 4 September 2015. Indonesia/Adhi Wicaksono.Jonatan Christie sudah dikenal banyak orang sejak sebelum masuk Pelatnas Cipayung. ( Indonesia/Adhi Wicaksono)

Waktu kamu kecil, kamu berasal dari kondisi ekonomi yang seperti apa?

Pas-pasan saja sih. Dibilang jelek juga enggak karena buat makan masih cukup. Cuma yaa berkelimpahan, juga enggak. Seadanya saja.

Saya malah juga dibantu sama Om dan Tante dulu waktu kecil saat saya masih di Tangkas. Jadi Om dan Tante itu kasih kayak uang bulanan ke mamah mereka, yang berarti nenek saya. Nah nenek saya tuh, total banget kayak uang yang dikasih Om dan Tante dikasih ke saya. Makan, beli daging, beli suplemen, vitamin, segala macam ya itu dari nenek saya.

Kamu menang medali emas Asian Games 2018 di usia 21 tahun dan langsung jadi sorotan. Kamu melihat hal itu bagaimana?

Dari situ banyak orang yang tidak mengerti bulu tangkis awalnya. Cuma mengerti di Asian Games, oh Jonatan nih juara. Dia pikir Jonatan tuh sudah yang paling nomor 1 gitu kan. Cuma menang Asian Games itu saja juga blessing dari Tuhan, bisa jadi juara.

Nah dari situ banyak orang yang berharap. Pastilah enggak bisa menyalahkan orang berharap, punya harapan sama kita, tetapi ya enggak semudah apa yang mereka lihat. Perjalanannya enggak semudah mereka lihat. Perjalanannya tuh kan juga up and down-nya juga banyak.

Jadi ya ada pressure, terlebih dari orang-orang yang memang enggak mengikuti perjalanan Jonatan dari sebelumnya.

Tetapi kamu gak merasa overconfident setelah momen itu?

Kayaknya kalau sampai begitu, enggak ada deh. Soalnya Koh Hendry itu dulu paling enggak mau kalau pemain habis juara, besoknya libur saja tuh paling enggak suka. Pokoknya besoknya harus latihan lagi semua segala macam. Jangan sampai, kalau menurut Koh Hendry, menimbulkan akar kesombongan.

Waktu itu terlihat GOR Tangkas juga ada beberapa fasilitas yang harus diperbaiki. Apa rencana kepulangan kamu ke Tangkas dan pengaruhnya kepada klub tersebut?

Menurut saya, Tangkas saat ini sudah lebih baik dibandigkan saat saya terakhir saya di sana. Tetapi memang bila dibandingkan dengan Pelatnas, pasti enggak sebagus Pelatnas.

Karpetnya juga enggak yang jelek banget, masih bisa dipakai. Masih nyaman. Tetapi untuk karpet, saya sudah ngobrol sama manajemen Tangkas dan sudah minta Victor, bisa enggak kalau memang karpetnya diganti. Sudah didiskusikan, tinggal dilaksanakan saja, cuma memang belum tahu kapan. Karena masih fokus pertandingan juga dan masih dalam masa transisi.

Apa harapan kamu terhadap Tangkas yang alumninya makin sedikit di Pelatnas Cipayung dan panggug internasional?

Paling simpel adalah dengan kehadiran saya, anak-anak yang sekarang ada itu bisa melihat pemain dunia atau sosok yang bisa mereka jadikan contoh. Dengan melihat saya latihan, kebiasaan saya, yang dulunya mungkin mereka tidak dapatkan itu.

Sekarang dengan saya pulang, saya latihan di situ, mudah-mudahan mereka bisa lihat.

Saya juga berharap ada beberapa atlet yang mungkin suka dengan saya atau tertarik dengan saya, mungkin bisa ikuti join latihan di Tangkas. Mungkin atlet-atlet muda lebih punya minat lagi untuk gabung ke Tangkas.

Tangkas mungkin saat ini orang juga enggak tahu kali. Memang ada klub Tangkas ya? Itu saja yang sudah sebesar itu, yang sudah melahirkan juara dunia dan juara Olimpiade, itu saja bisa terlupakan.

Mudah-mudahan dengan kehadiran saya dan Christian Adinata juga, mungkin jadi ada minat dari anak-anak muda yang ingin berlatih bulu tangkis dan ingin jadi pemain, mudah-mudahan lebih banyak lagi.

Kamu pengen gak main terus sampai Jayden mengerti soal pertandingan seperti halnya Hendra Setiawan dan Mohammad Ahsan yang main sampai anak-anaknya mengerti soal pertandingan?

Maulah pasti. Saya tuh pengin melihat mereka tuh ngerti bahwa papanya tuh atlet bulu tangkis, bertanding, mereka nonton, mereka lihat.

Bukan soal menang-kalahnya, tetapi membayangkan mereka bisa melihat papanya berjuang dan bertanding, rasanya bakal happy. Pengen sih, pengen.

[Gambas:Video ]



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *