Sejarah Resmi Biasa Ada di Negara Otoriter
Jakarta, Indonesia —
Sejarawan dari Universitas Nasional (Unnas) Andi Achdian mempertanyakan keputusan pemerintah melaluiĀ Kementerian Kebudayaan melakukan revisi terhadapĀ sejarah negara Republik Indonesia (RI).
Menurut Andi, negara demokratis tak lumrah menulis sejarah negaranya. Biasanya, kata dia, sejarah negara ditulis dan diinterpretasikan kepada para sejarawan, dan bukan program atau proyek resmi negara. Biasanya, kata dia, penulisan sejarah resmi hanya dilakukan negara-negara otoriter.
“Biasanya negara-negara demokratis kan ngapain sih gitu loh bikin program itu ya. Bikin penulisan sejarah. Biasanya kan negara-negara otoriter tuh, yang punya kepentingan untuk menulis sejarah resmi yang mereka klaim sebagai sejarah resmi,” kata Andi saat dihubungi, Rabu (7/5).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Lebih jauh, Andi turut mengkritik sejumlah babak sejarah yang hilang dalam proyek yang dilakukan 100 penulis tersebut. Andi mengaku sempat melihat outline penulisan sejarah tersebut dan menyayangkan karena ada revisi berarti dari sebelumnya.
Dia misalnya menyesalkan karena outline buku tersebut tak memasukkan sejumlah kasus pelanggaran HAM berat yang diakui Komnas HAM. Menurut dia, dari 12 pelanggaran HAM, outline buku sejarah hanya memasukkan dua di antaranya.
“Sementara problem-problem lain seperti yang sudah diakui negara sendiri kan 12 pelanggaran apa namanya HAM masa lalu yang berat itu juga tidak masuk gitu,” katanya.
Berdasarkan outline tersebut, Andi bilang revisi penulisan sejarah hanya berisi glorifikasi terhadap pemerintahan presiden mulai Sukarno hingga Jokowi.
Sementara, kata Andi, beberapa peristiwa penting, seperti kasus pelanggaran HAM ’65 hingga penculikan di akhir Orde Baru tak masuk dalam outline buku tersebut.
“Jadi enggak ada luka sejarahnya. Semuanya baik-baik saja. Nah itu problem dari sejarah official history ya,” kata dia.
Menurut Andi, penulisan sejarah resmi oleh negara bukan lagi bicara soal perdebatan soal metode atau pemilihan materi. Menurut dia, negara mestinya juga bertanggung jawab terhadap publik.
Sebab, sejarah juga terkait erat dengan korban kekerasan yang dilakukan negara. Andi menilai negara mestinya harus melihat aspek tersebut.
“Tapi sekarang misalnya bagaimana dengan keluarga korban. Bagaimana dengan komunitas-komunitas lain yang ceritanya disingkirkan dalam sejarah resmi,” kata dia.
“Harapan saya dibuka lah. Suaranya siapa yang payung hitamnya Bu Sumarsih, iya kan? Ini para sejarawan seolah-olah lebih suka ngedenger suaranya Jokowi, IKN gitu, yang kita tahu amburadulnya gitu kan?” Imbuh Andi.
Diuji publik sebelum rilis
Hal senada juga disampaikan sejarawan sekaligus anggota Komisi X DPR dari PDIP, Bonnie Triyana. Dia meminta naskah buku penulisan ulang sejarah RI diuji publik sebelum diterbitkan.
Menurut dia, masyarakat harus memberi masukan terhadap buku tersebut. Sebab, menurut dia, sejarah sejatinya merupakan milik masyarakat.
“Saya minta naskah buku sejarah itu diuji publik dulu sebelum diterbitkan. Supaya dapat masukan dari masyarakat. Karena sejatinya sejarah adalah milik masyarakat, bukan hanya milik negara,” kata Bonnie saat dihubungi, Selasa (6/5).
(thr/dal)