Sejumlah Saksi Ungkap Cacat Formil Pembentukan UU Konservasi SDA




Jakarta, Indonesia

Putu Ardana dari Masyarakat Adat Dalem Tamblingan Bali menuangkan kekecewaannya terhadap pembahasan Revisi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (KSDAHE) menjadi Undang-undang di sidang uji formil di Mahkamah Konstitusi (MK), Jumat (2/5). Putu menilai anggota DPR tidak menaruh rasa hormat dalam pembahasan tersebut.

Putu yang merupakan Ketua Tim 9 Masyarakat Adat Dalem Tamblingan menjadi salah satu perwakilan masyarakat adat yang dilibatkan dalam pembahasan RUU KSDAHE di DPR.

“Setelah sampai di RDP (Rapat Dengar Pendapat), maka dengan sejujurnya harus saya sampaikan di sini saya sangat kecewa. Kekecewaan pertama adalah kami diundang oleh Komisi IV DPR pada saat itu yang hadir di Komisi IV hanya 4 orang,” ujar Putu dalam sidang lanjutan perkara nomor: 132/PUU-XXII/2024, Gedung MK, Jumat (2/5).



ADVERTISEMENT


SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Putu geram dengan keadaan tersebut. Apalagi dia hanya diberi waktu sebanyak 10 menit untuk memaparkan praktik dan manajemen konservasi di Indonesia.

“Untuk soal yang menurut saya sangat penting ini saya hanya diberi waktu 10 menit. Kekecewaan ketiga setelah saya menyampaikan secara terburu-buru dan banyak yang saya ringkas pemaparan saya, segelintir anggota DPR yang hadir itu sama sekali tidak ada yang menanggapi,” ucap Putu.





Tak berhenti di situ, Putu juga kecewa lantaran tidak mendapat perkembangan terkini mengenai pembahasan payung hukum KSDAHE dari DPR.

“Dan kekecewaan keempat setelah RDP pada 10 April 2023 tersebut, saya tidak pernah mendapat perkembangan dari pembahasan UU tersebut sampai saya mendengar RUU tersebut sudah menjadi UU,” ucap dia.

Di hadapan Hakim Konstitusi ini, Putu menjelaskan pada saat RDP dimaksud dirinya ingin sekali memberi penjelasan mendalam perihal praktik dan manajemen konservasi di Indonesia yang kini sangat tidak bersesuaian dan tidak tepat. Dia menjelaskan dalam praktiknya Indonesia menafikkan faktor kultur dalam konservasi. Negara hanya menganggap interaksi antara faktor hayati dan non hayati sebagai ekosistem yang menjadi rujukan konservasi.

“Padahal, kami menganggap faktor terpenting dalam praktik dan manajemen konservasi itu adalah faktor kultur, karena masyarakat adat di Indonesia itu mempunyai interaksi dengan bentang alamnya itu melahirkan kultur yang filosofinya adalah menjaga bentang alam tersebut, karena semua komunitas masyarakat adat tujuannya itu adalah untuk survivalitas membangun kesejahteraan,” tutur Putu.

Faktor lainnya yang lebih penting adalah masyarakat adat di Indonesia mempunyai cara yang berbeda dalam melaksanakan praktik konservasi sesuai dengan bentang alamnya.

“Misal di daerah kami disucikan, macam-macam lah kita bisa lihat berbagai praktik konservasi di masyarakat adat Indonesia dan sudah terbukti berhasil menjaga bentang alam yang masih lestari ratusan bahkan ribuan tahun,” ujarnya.

Putu bersama sejumlah masyarakat adat Tamblingan sedang berjuang mengembalikan kawasan konservasi menjadi hutan adat yang suci seperti awalnya. Kawasan Danau Tamblingan dan Hutan Mertajati bagi masyarakat adat setempat adalah kawasan suci milik mereka sejak seribu tahun lalu. Ketika Indonesia Merdeka, wilayah itu diklaim sebagai wilayah konservasi milik pemerintah yang saat ini statusnya turun menjadi Taman Wisata Alam (TWA).

Tidak transparan

Sementara itu, Arif Adiputro dari Indonesian Parliamentary Center (IPC) mengungkapkan proses pembahasan RUU KSDAHE menjadi UU di DPR dilakukan tidak transparan. Berdasarkan monitoring yang pihaknya lakukan, dalam dokumen penyusunan naskah akademik (NA), IPC menemukan draf NA tidak diumumkan DPR melalui kanal atau saluran resmi. Masukan publik atas draf NA juga tidak diumumkan. Padahal, keduanya diatur dalam Pasal 50 ayat 5 dan 6 Peraturan DPR Nomor 2 Tahun 2020.

Sedangkan pada tahap penyusunan RUU, konsep RUU tidak diumumkan hingga saat ini (Pasal 52 Peraturan DPR). Yang diumumkan hanya masukan publik atas konsep RUU, RUU dan pandangan fraksi atas RUU KSDAHE.

“Cuma kami melihat di pandangan fraksi ini ada pada tahap penyusunan, tetapi ketika sudah beranjak ke tahap pembahasan di pembicaraan tingkat I itu tidak ada. Ini penting karena ini adalah salah satu cara untuk melihat bagaimana keterangan atau masukan dari stakeholder (pihak terkait) dipertimbangkan atau tidak di dalam proses penyusunan Undang-undang.

“Kami mengklasifikasikan ada 18 kali rapat di dalam penyusunan, cuma jadi catatan di sini adalah laporan singkat yang diunggah di kanal resminya hanya satu saja,” ungkap Arif.

“Catatan rapat dan risalah rapat (Pasal 302 Peraturan DPR) yang harusnya resmi dan dibuka ke publik itu sama sekali tidak dipublikasikan di kanal resmi. Penayangan video di Parlemen TV dari 18 kali rapat, itu hanya 8 rapat saja yang ditampilkan,” sambungnya.

Ardi menyatakan penjelasan atas RUU KSDAHE oleh DPR, pandangan presiden hingga pandangan DPD tidak diumumkan oleh DPR, padahal hal tersebut diatur dalam Pasal 94 ayat 4 Peraturan DPR. Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) dari Presiden dan DPD juga tidak diumumkan. Sementara untuk pendapat ahli (akademisi), Ardi mengaku hanya mendapat bahan materi rapat saja.

“Kami juga melakukan permohonan informasi kepada DPR berkaitan dengan DIM dari Presiden maupun DPD,” kata Ardi.

Terhadap proses dan hasil rapat pembahasan RUU KSDAHE, dari 30 rapat yang dilakukan, hanya tiga laporan singkat yang diumumkan DPR. Pada 11 Juli 2024, IPC memohon informasi ke DPR mengenai laporan singkat, catatan, risalah dan daftar hadir rapat serta DIM ke DPR. DPR membalas permohonan tersebut dengan menyatakan segala hal yang diminta tidak bisa diberikan karena tidak dalam penguasaan Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) Sekretariat Jenderal DPR.

Arif berujar DPR memang mengundang sejumlah pihak dalam pembahasan RUU KSDAHE, hanya saja belum memenuhi prinsip right to be heard dan right to be considered dalam kaitannya partisipasi publik yang bermakna.

“Setelah kita lihat dari laporan singkat dari 49 kali rapat ya, sebenarnya cuma yang terakhir Rapat Paripurna, itu sekitar 4 saja yang dipublikasikan. Kemudian catatan rapat tidak sama sekali dipublikasikan dan risalah rapat tidak dipublikasikan, dan untuk video hanya 13 dari 48 video yang ditayangkan oleh DPR. Terkait permintaan informasi kami sama sekali tidak mendapatkan,” jelas dia.

MK kembali menggelar sidang uji formil terkait UU KSDAHE setelah memerintahkan pemerintah untuk tidak menerbitkan peraturan pelaksana dari UU a quo pada Kamis, 14 November 2024.

Dalam sidang yang berlangsung pada Senin, 28 April 2025, Anggota Komisi III DPR Rudianto Lallo menyampaikan UU KSDAHE telah mengakomodasi keberadaan serta peran masyarakat adat dalam konservasi sumber daya hayati dan ekosistemnya.

Menurut dia, Pasal 37 ayat (3) UU tersebut secara tegas mengatur pelibatan masyarakat hukum adat dalam konservasi. Selain itu, dalam Penjelasan Umum UU 32/2024, disebutkan tujuan perubahan UU KSDAHE adalah untuk meningkatkan peran serta masyarakat, termasuk masyarakat adat, serta untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat di sekitar kawasan konservasi, seperti suaka alam, pelestarian alam, wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

Pemohon uji formil ini ialah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan perwakilan Masyarakat Adat Ngkiong, Mikael Ane atas dukungan Koalisi Untuk Konservasi Berkeadilan.

Pengujian formil dilakukan karena banyak persoalan dalam konteks penyusunan UU KSDAHE yang tidak memenuhi ketentuan UUD 1945, UU 13/2022 tentang Perubahan Kedua atas UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dan Putusan MK Nomor: 91/PUU-XVIII/2020.

Para pemohon dan koalisi untuk konservasi mengajukan uji formil UU KSDAHE dengan membawa tiga alasan yakni pembentukan UU dimaksud tidak memenuhi asas kejelasan tujuan, tidak memenuhi asas kedayagunaan dan kehasilgunaan, dan tidak memenuhi asas keterbukaan.

(fra/ryn/fra)


[Gambas:Video ]



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *