Sempat Bantu AS Perang, Afghanistan Kini Gigit Jari Dikhianati Trump

Jakarta, Indonesia —
Warga Afghanistan banyak yang gigit jari ketika membaca pengumuman Presiden AS Donald Trump yang melarang warga dari 12 negara masuk ke Amerika Serikat.
Sebagian warga Afghanistan takut, cemas, sekaligus merasa dikhianati AS karena kebijakan gila Trump. Warga Afghanistan sempat membantu pasukan Negeri Paman Sam perang melawan terorisme bertahun-tahun.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Sebetulnya ada sejumlah jalur imigrasi bagi warga Afghanistan untuk datang ke AS, tetapi hampir semuanya terdampak selama pemerintahan Trump.
Ribuan warga Afghanistan terlantar imbas pemotongan layanan dan kantor yang biasa membantu mengajukan visa. Mereka yang memenuhi syarat untuk status pengungsi terdampak karena penghentian hampir total upaya pemukiman kembali.
Warga Afghanistan lain yang sudah mengantongi Status Perlindungan Sementara juga terancam terusir karena Trump mengumumkan bakal mengakhiri program tersebut.
Larangan perjalanan terbaru dari Trump memberikan pengecualian bagi pemegang Visa Imigran Khusus Afghanistan (SIV). Visa itu ditujukan bagi mereka yang bekerja atau atas nama AS selama setidaknya satu tahun selama Afghanistan dilanda perang.
Namun, banyak orang yang membantu AS dan dianggap belum memenuhi syarat perolehan SIV. Beberapa tak memenuhi syarat satu tahun atau secara teknis bekerja atas nama pemerintah AS.
Salah satu warga Afghanistan yang sempat bekerja dengan pasukan AS berusaha membawa anggota keluarganya ke Negeri Paman Sam sejak Taliban berhasil kudeta pemerintah sah pada 2021.
Namun, dia tak tahu pasti larangan bepergian tersebut berdampak ke adik laki-lakinya, yang tidak memenuhi syarat untuk SIV, atau tidak.
“Saya bahkan tidak tahu apa arti larangan bepergian ini dan bagaimana ini akan berdampak ke orang-orang,” ujar dia.
Warga Afghanistan lain juga tak tahu pasti dampak langsung larangan itu bagi keluarganya yang masih berada di Afghanistan.
Dia merasa masa depan diri pun sudah tak menentu. Ia telah memenuhi syarat untuk masuk ke AS berdasarkan sejumlah kategori, setelah bekerja untuk AS selama perang.
Dia lalu datang ke AS melalui Program Fulbright dan visa SIV-nya disetujui setelah tiba. Kini, dia mengajukan permohonan kartu hijau, tetapi tak tahu statusnya sampai saat ini.
Ia berharap setelah memperoleh green card, istri dan putrinya dapat bergabung dengannya meskipun ada larangan bepergian. Ia belum bertemu putrinya sejak 2021 atau setelah lahir.
“Mereka memesankan tiket pesawat untuk saya pada 15 (Agustus 2021). Bayi perempuan saya lahir pada tanggal 19, dan saya belum melihatnya,” kata dia.
Pengecualian SIV dalam larangan perjalanan Trump memang tak bagus-bagus amat. Salah satu mantan pejabat Kementerian Luar Negeri AS membeberkan pengecualian itu tak sepenuhnya kabar baik.
“Masalah dengan pengecualian itu semacam orang yang tak bisa dipertanggungjawabkan, karena secara terpisah, di bawah naungan yang berbeda, pemerintah membubarkan Kantor Koordinator Upaya Relokasi Afghanistan,” kata pejabat itu, dikutip , Minggu (8/6).
Dia lalu berujar, “Mereka akan menutup kantor itu paling lambat tanggal 1 Juli.”
Kemlu AS telah memberitahu Kongres dalam bahwa Kantor Koordinator Upaya Relokasi Afghanistan “akan dihilangkan dan fungsinya akan dialihkan ke Kantor Urusan Afghanistan.”
Pejabat AS lain mengatakan pemerintah juga akan mengakhiri program yang membantu penerima dan pelamar SIV Afghanistan pergi ke negara ketiga atau Enduring Welcome.
Pendiri layanan bantuan kemanusiaan untuk Afghanistan Lamia Afghan Foundation John Bradley juga punya pandangan serupa soal pengecualian SIV.
“Kedengarannya bagus, tetapi kita juga perlu infrastruktur pendukung untuk membantu mereka tiba dan memulai hidup di Amerika Serikat,” kata Bradley.
(isa/chri)